Lihat ke Halaman Asli

Ya Tuhan, Aku Tidak Menyangka Menjadi Gay

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“ Ya Ampun buuuk, putranya imut banget ya, putih, kayak cewek”

Kalimat itu masih terngiang di telingaku, 27 tahun yang lalu, mungkin saat itu aku masih duduk di kelas TK. Saat ibuku membawaku pergi kesebuah pesta pernikahan.

Kalimat-kalimat kagum (baca; melecehkan) dari mulut para tetangga disekiling rumahku seperti kalimat diatas, tidak sekali dua kali aku dengar, tetapi sangat sering. Saking seringnya hingga suatu saat ketika aku sudah menginjak kelas 2 SD, teman-teman disekolahpun selalu mengejekku, kalau aku seperti banci.

Masih teringat pulak, aku mengarang cerita, saat teman-temanku bertanya kenapa aku seperti cewek ?

Aku beralasan, kalau sebenarnya dulu ibuku pingin punya anak perempuan, eh ternyata yang lahir anak laki-laki. Tepatnya laki-laki tidak normal.

Semakin dewasa, saat pertama kali aku mimpi basah. Saat pertama kali aku membayangkan berhubungan badan dengan seseorang. Layaknya anak baru baligh melakukan masturbasi/onani, anehnya aku tidak membayangkan tubuh seorang perempuan, tetapi aku membayangkan tubuh seorang laki-laki. Saat itu aku begitu mengagumi ketua kelasku sendiri, sebut saja namanya Ma’ruf Wahyudi. Cowok paling ganteng di SMP saat itu.

Aku masih belum paham dengan keadaan perasaaku saat itu. Ketika usiaku sudah menjelang 17 tahun, aku baru menyadari bahwa ada yang berbeda dalam diriku, tepatnya perasaanku.

Saat aku melihat semua teman laki-lakiku sudah pandai berpacaran dengan teman-teman perempuannya.

Saat aku sadari mereka bahkan ada yang sudah melakukan hubungan badan diluar nikah dengan pacarnya, hingga akhirnya dinikahkan saat usia muda.

Saat aku sadari hanya aku yang berbeda, dan hanya aku yang tertarik dengan sesama lelaki.

Saat itu aku meronta, berontak, menangis. Bahkan terlintas ingin bunuh diri.

Ya 13 tahun silam, saat usiaku genap 18 tahun aku jatuh cinta. Jatuh cinta dengan seorang lelaki. Lelaki sejati. Hatiku terasa sangat sesak. Berupaya aku menahan diri, tetapi semakin hari semakin menjadi. Hingga akhirnya aku membuat pengakuan dengannya. Sebut saja namanya Bayu.

Semenjak pengakuan itu, bayu mulai menjauhi kehidupanku. Tetapi entah karena kasihan atau bagaimana akhirnya bayu suatu saat menemuiku. Berbicara lebih dari satu kata. Bercanda lebih dari biasanya. Aku berpikir dia telah berubah pikiran. Bahwa dia akan menerimaku. Menerimaku sebagai pacar tepatnya. Aku begitu sangat berharap. Hingga aku lupa dan akhirnya aku merasa sangat dekat dengannya.

Hingga satu saat aku beranikan diri untuk menyentuh tubuhnya. Bayu terhenyak, marah tiada tara. Aku ditampar.

“ Aku mendekatimu, karna menganggapmu sebagai sahabat, karena aku tau kamu membutuhkan aku, membutuhkan penguat jiwamu. Tetapi bukan untuk menjadi pelampiasan nafsumu “. Bayu mendorongku keras. Aku ditinggalkan dalam kepedihan.

Kami berpisah, lama, lama sekali. Hingga suatu ketika, aku dipondokan.

Pikiranku gelisah, manakala suatu saat sang ustads mengkajikan dalil mengenai kaum nabi luth. Hatiku pedih, hatiku perih, sakit tak terkira.

Sore itu, saat semua santri bersantai-santai dibawah pohon, di samping gedung putra.

Aku menyapukan pandanganku kesembarang tempat. Beberapa saat kemudian aku melihat sosok laki-laki yang sepertinya tidak asing. Ia mengenakan kaos bola juventus. Ya aku kenal laki-laki itu. Dadaku berdetak. Bercampur dengan segala macam perasaan. Aku memberanikan diri untuk mendekatinya.

Ia sama sekali tidak menyadari kalau aku sudah berada di sampingnya, tepatnya dibelakang pundaknya. Ku beranikan diri untuk menyapanya.

“ Bay ...”

Ia menoleh, menatapku kaget. Ingin rasanya aku peluk dan aku cium dia saat itu, tetapi aku berupaya sekuat tenaga untuk tidak meneteskan air mata. Bayu menyalamiku lembut. Dia bahkan tidak marah dan menyuruhku duduk disampingnya. Ia berbasa-basi terlebih dahulu, layaknya setiap orang pertama kali bertemu setelah sekian lama terpisah. Kami bicara lebih dari satu menit. Berlanjut hingga dua menit.

Semenjak pertemuan itu, kami menjadi sering bertemu. Baik dalam saat pengajian, atau saat istirahat sekolah. Kami bahkan sering bermain bersama. Makan bersama. Dan bercerita tentang suka duka tinggal di pondok. Ia bahkan tidak pernah membicarkan kekesalannya lagi. Ia bahkan telah melupakan kejadian memalukan itu.–De – to be continues




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline