Lihat ke Halaman Asli

Ian Kassa

Merdeka dalam berpikir.

Bencana Alam dan Kesimpulan yang Keliru

Diperbarui: 16 Oktober 2018   13:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Liputan6.com/Taufik H untuk Muhamad Ridlo

Seingat saya, sains tidak mengenal yang namanya "bencana". Istilah bencana adalah bagian dari tafsiran manusia. Gempa dan tsunami menyebabkan kerugian, maka gempa  dan tsunami disebut bencana.

Poinnya bukan di situ. Melainkan pada kesimpulan yang keliru dari segelintir orang. Kenapa kesimpulan itu penting? Sebab kesimpulan akan berujung pada cara menyikapi persoalan.

Ada satu contoh kasus yang sangat menarik. Dulu, di abad ke-9, era keemasan peradaban Islam sudah merembet ke Mesir. Sungai Nil kala itu kerap kali meluap, dan menyebkan bencana alam berupa banjir besar. Akibatnya, properti-properti masyarakat dan pemerintah banyak yang rusak.

Untuk bisa mengatasi persoalan banjir Nil tersebut, pemerintah Mesir bersama para ilmuwan-ilmuwannya mengandalkan sains sebagai metode yang tepat. Ilmuwan Mesir berusaha mempelajari pengetahuan masyarakat setempat dalam hal mengamtisipasi banjir.

Hasilnya, pemerintahan muslim Mesir dan para ilmuwannya membangun Nilometer. Apa itu Nilometer? Yaitu penggaris besar yang dipasang di tepi sungai Nil. Fungsinya adalah sebagai alat pengukur ketinggian banjir dari tahun ke tahun. Dengan demikian, pemerintah Mesir bisa melakukan langkah prediktif dan antisipatif sebelum banjir lebih besar datang.

Lalu, apa yang bisa kita pelajari? Untuk keluar dari kemelut banjir Nil, Pemerintah Mesir tidak menarik kesimpulan yang keliru. Pemerintah dan rakyat Mesir kala itu tidak berpendapat bahwa, ada dosa yang dilakukan Rakyat Mesir sehingga membuat tuhan murka dan mengirim banjir besar sebagai peringatan.

Sekarang ini lain. Kesimpulan-kesimpulan yang ditarik justru mencerminkan kesimpulan yang bias. Bencana alam dianggap sebagai jawaban atau bukti atas dosa-dosa manusia. Akibatnya, orang-orang seperti ini lupa untuk mencari jawaban yang tepat dan rasional. Mereka tidak hadir untuk memecahkan persoalan, tetapi menambah persoalan baru.

Persoalan baru yang bagaimana? Contoh, kata mereka tidak boleh melarungkan sesaji. Jika masih dilakukan, maka tsunami bisa datang. Melarungkan sesaji merupakan bagian dari kultur yang sudah sangat mengakar di beberapa tempat di Indonesia. Melarang pelarungan sesaji akan membuka potensi konflik horizontal antar masyarakat.

Contoh lain, ada yang berpendapat bahwa bencana alam terjadi karena maraknya kaum LGBT. Padahal, jauh sebelum kaum LGBT ada di Indonesia, bumi Nusantara ini sudah beberapakali mencatatkan fenomena alam serupa.

Pada akhirnya kita harus memahami bahwa kesimpulan haruslah rasional. Salah menarik kesimpulan, justru bisa berakibat fatal pada penanganan persoalan.

Salam hangat, mari bersulang kopi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline