"Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan." (Dee, dalam Filosofi Kopi ).
Kesibukan yang menumpuk sedikit memberikan ruang renggang antara saya dan spirit sebagai "pemburu buku". Jujur saya akui keterlambatanku untuk memiliki buku Filosofi Kopi karya Mbak Dewi Lestari ini. Yah, sebagai penikmat deretan aksara pada lembaran buku, saya meresakan ada setitik penyesalan yang menggeliat hidup di dalam pikiran ini. Namun, saya bersyukur karena titik penyesalan itu hidup dan bermetamorfosis menjadi satu sosok spirit yang mendorong saya untuk terus memburu karya Dee yang fenomenal tersebut.
Sangat menarik saat saya menemukan salah satu quotes Filosofi Kopi dalam jagat maya. Dalam sabdanya, Dee bertutur: "...kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan." Menarik karena saya adalah orang yang mencumbui kopi hangat di hampir setiap pagi membentang. Bahkan, saya pernah bilang ke salah seorang teman bahwa pagi hari tanpa kopi, hidup rasanya belum absah. Bagi penikmat kopi, hal itu tidak berlebihan. Sebab kopi telah menjelma sebagai "legalitas" kehidupan.
Tetapi, pada hemat saya, seorang penikmat kopi akan lebih baik jika ia mampu membahasakan kopi itu. Akan lebih elok manakala ia bisa mengambil dan merefleksika rasa filosofis dari kopi tersebut. Dengan ini, ia tidak sekedar merasakan kopi pada sisi-sisi pengecap rasa di lidahnya, tapi juga menjadi "transporter" yang menjembatani antara subtansi kopi dengan realita kehidupan yang dijalaninya.
Di sini, saya hendak menghajak pembaca untuk belajar damai dan membangun kedamaian dari kopi. Pagi tadi, sebelum sajian kopi diantarkan oleh pelayan warkop nan cantik itu, secara kebetulan saya menemukan sebuah buku kecil (seukuran buku saku) di dalam tas saya. Itu buku seorang teman yang beberapa hari lalu meminjam tas saya. Buku tersebut bertajuk tentang 'Kesesatan Syi'ah'. Seketika itu juga pikiran saya serasa dihempaskan ke dalam dunia konflik sektarianisme.
Rasa-rasanya terlalu jauh melongok ke Timur Tengah. Toh, saya juga tidak begitu mahir membingkai analisis argumentatif soal konflik geopolitik. Tengok saja ke dalam negeri, ke Indonesia yang kita sayangi ini. Konflik sektarianisme di Indonesia bukan lagi barang baru. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana ummat Syi'ah Sampang Madura harus terusir dari kampung halaman mereka.
Sunni vs Syi'ah, apalagi kalau bukan itu? Konflik antara keduanya seakan tak menegaskan ujung penyelesaian. Selalu saja ada yang melayangkan sudut pandang sentimental terhadap Syi'ah dengan melontarkan ungkapan-ungkapan propagandis. Syi'ah sesatlah, kafirlah, bukan bagian dari Islamlah, dan apalah-apalah begitu. Saya tidak menyatakan bahwa di kalangan Syi'ah tidak ada yang bertindak serupa, tidak menutup kemungkinan di kalangan Syi'ah ada juga yang konservatif dan propagandis.
Namun, titik tekan di sini adalah bagaimana kita mengupayakan kedamaian. Dan saya menilai kopi mengjarkan suatu pengupayaan tersebut. Iya, kah? Bagaimana bisa begitu? Beritik tolak dari quotes Mbak Dee, "...kopi memiliki sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan."
Bisakah kita mendidik diri kita bahwa kedamaian tidak dicapai dengan cara menseragamkan perbedaan? Lihatlah, ke mana pun kita meyangkan pandangan, perbedaan akan selalu ada. Lihat jemari kita. Lima jenis jemari berbeda, namun membentuk satu kesatuan yang kita sebut dengan istilah mengepal atau menggenggam.
Hidup ini ibarat kopi. Selalu ada pahit yang tak bisa dibuang, tapi ada juga rasa manis yang bisa diupayakan bersama. Saya yakin, seorang penikmat kopi, saat merasakan seruput pertamanya pada kopi hangat yang ia nikmati, ia akan merasakan kedamaian. Kopi yang tersaji menampilkan paduan yang komplit. Ada bubuk kopi yang pahit, ada tambahan susu dengan takaran yang tipis, atau juga ada tambahan gula, lalu kemudian menambhkannya dengan air hangat. Diaduk dan kemudian disajikan. Bayangkan, jika perpaduan-perpaduan tersebut tidak ada, kenikmatan kopi justru akan berkurang.
Menjalani kehidupan ada baiknya ketika kita memahaminya selayak membuat, menyajikan dan menyeruput kopi. Dalam kopi yang tersaji, menyiratkan kedamaian. Namun, sajian kopi juga tak menghendaki keseragaman.