Lihat ke Halaman Asli

Kris Buulolo

An educator, freelance writer, bookworm, and language enthusiast

Tua Bijak atau Tua Pikun?

Diperbarui: 18 Agustus 2019   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

hello.id

17 Agustus 2019 kemarin adalah hari yang bersejarah bagi bangsa ini. Perjalanan panjang telah dilalui oleh bangsa yang memiliki banyak keragaman etnis dan budaya ini. Perbedaan-perbedaan yang memberikan khasanah tersendiri bagi bangsa yang terkenal akan keramahan penduduknya ini, telah menjadi keindahan selama berpuluh-puluh tahun.

74 tahun sudah, negeri ini telah berdiri. Kemerdekaan yang diperoleh bukan jatuh dari langit atau pun oleh pemberian bangsa lain, namun dengan bambu yang runcing, darah yang mengalir, dan air mata yang tertumpah hingga kering. Semua perjuangan yang dilakukan oleh para pendahulu akhirnya terbayar dengan berkibarnya sang merah putih dengan bebas.

Sejarah mencatat perjalanan panjang negeri ini untuk terus berdiri kokoh tidaklah mudah. Ada banyak angin topan dan hembusan tornado yang siap menggoncang untuk merubuhkan persatuan Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika ini. Namun, sang Garuda tampaknya masih terus menancapkan cakarnya kuat di akar-akar hati bangsa ini, sehingga masih terus berdiri tegak dan kokoh.

74 tahun, bukanlah waktu yang singkat. Sudah tua.

Seorang yang tua pasti identik dengan orang yang bijak, penuh dengan kewibawaan dan dihormati. Namun, kadang pula, seorang yang tua juga bisa pula tidak lagi ingat siapa dirinya, alias pikun.

Indonesia sepertinya memang sedang kembali diuji. Bukan lagi rahasia umum, jika negeri ini memang sedang digoncang oleh degradasi identitas. Politik identitas yang dulunya sangat terasa pada saat masa pemilihan umum, hingga kini masih terbawa. Padahal, sempat diharapkan jika, setelah selesainya masa pemilu, maka dengan sendirinya hal tersebut akan hilang.

Tapi, nyatanya justru hal tersebut semakin lama semakin meresahkan. Padahal sila kelima dengan jelas mengatakan bahwa keadilan sosial tersebut adalah bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa ada embel-embel mayoritas dan minoritas.

Pendidikan juga tidaklah begitu signifikan mengalami kemajuan. Pendidikan seolah dijadikan alat untuk meraup keuntungan atau sekedar yang penting terlihat bekerja. Peserta didik dijadikan kelinci percobaan. Lalu, bagaimana mungkin negeri ini bisa berharap bahwa sepuluh tahun atau mungkin dua puluh lima tahun kedepan dia akan mengalami kemajuan yang luar bisa, jika dari sekarang generasi untuk menggantikannya tidak dipersiapkan dengan matang.

Lalu sebenarnya, negeri ini akan dibawa ke mana?

Sikap-sikap intoleransi di negeri ini kerap kali menghiasi isi-isi berita baik itu di media sosial maupun di media-media mainstream. Namun, pihak-pihak yang berwenang  seolah menutup mata dengan hal-hal tersebut. Seolah-olah bahwa hal tersebut bukanlah yang terlalu besar untuk diperhatikan.

Judul tersebut sengaja penulis berikan. Apakah sang pertiwi akan menjadi seorang yang semakin tua semakin bijak dan semakin bersinar, atau justru menjadi seorang yang tua, pikun dan melupakan semua perjuangan-perjuangan pahlawan yang telah berjuang untuk merebut kemerdekaan ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline