Tahun Akademik baru kembali dimulai pada tanggal 15 Juli 2019. Dalam permulaan Tahun Akademik tersebut, ada sebuah tradisi dimana ada yang namanya kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) atau Masa Orientasi Sekolah (MOS). Bagi sebagian siswa baru, MPLS atau MOS ini kerap menjadi momok tersendiri yang menghantui mereka.
Bukan tanpa alasan, sebab seringkali waktu-waktu dimana mereka seharusnya belajar mengenal lingkungan sekolah mereka, cara belajar, kurikulum yang digunakan, hingga peraturan-peraturan apa yang berlaku di institusi yang telah mereka pilih menjadi jembatan bagi masa depan mereka tersebut, akhirnya membawa trauma tersendiri bahkan harus ditebus dengan harga yang mahal, yaitu hilangnya nyawa mereka sendiri.
Perploncoan yang terjadi di sekolah-sekolah ini sebenarnya bukan lagi menjadi hal yang baru. Bahkan hal ini pernah menjadi perhatian serius dari pemerintah karena banyaknya korban dari perploncoan tersebut. Banyak keluarga yang harus kehilangan anaknya, alih-alih mewujudkan mimpi bahwa anak tersebut kelak akan menjadi orang yang berhasil.
Kasus tersebut kembali terjadi. Sebuah sekolah Taruna di Palembang kembali menelan korban dari sistem tersebut. Siswa yang tadinya bermimpi untuk menjadi seorang pelayar yang tangguh dan kuat, kini harus mengubur mimpi tersebut. Bukan hanya sekedar menguburnya, namun bahkan tak lagi bisa bermimpi, karena kini dirinya harus menghadap sang penciptanya.
Perploncoan yang menelan korban jiwa bukanlah kali ini pertama terjadi. Bahkan setelah ada regulasi dari pihak-pihak terkait bahwa tak ada lagi sistem perploncoan dalam mengawali tahun ajaran yang baru, hal tersebut masih saja kerap terjadi. Entah apa yang menjadi dasar dari adanya hal tersebut.
Memang, kerap alasannya adalah untuk membentuk mental dan sikap yang kuat dari para siswa-siswi yang baru tersebut. Namun, tentu hal tersebut tidak bisa menjadi alasan yang kuat untuk menghilangkan nyawa seseorang.
Lalu kemudian, kenapa akhirnya kegiatan perploncoan tersebut kerap terjadi. Tentu, ada banyak pihak yang harus bertanggung jawab atas hal ini. Meski banyak juga dari para pelaku yang akhirnya dihukum oleh pihak yang berwajib untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mereka tersebut, namun tentu lingkup yang lebih luas juga harus diperbaiki, termasuk management dari pihak sekolah tersebut.
Tindakan dan disiplin yang keras harus diberlakukan agar kejadian-kejadian tersebut tidak lagi terjadi. Upaya-upaya pencegahan harus terus dilakukan, bukan hanya sekedar himbauan dan kata-kata penegasan bahwa tidak ada lagi perploncoan di masa orientasi sekolah. Lalu apakah sudah dilakukan pengawasan yang cukup?
Kepala sekolah yang institusinya menjadi tempat perploncoan juga harusnya diberi tindakan. Sebab, jika ada pengawasan yang baik dan benar dari pemimpinnya, maka hal tersebut tidak perlu terjadi.
Kementerian Pendidikan selaku pihak terkait juga harus melakukan tindakan yang tegas terhadap institusi yang didapati terjadi kasus perploncoan tersebut. Bila perlu, institusi tersebut diberi disiplin tidak lagi bisa menerima siswa-siswi baru untuk Tahun Akademik berikutnya jika hal tersebut masih saja terjadi di lingkungan sekolah atau institusinya.