Lihat ke Halaman Asli

Inilah Manusia Indonesia

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada hal yang selalu terbesit dalam benak saya, dari 240 juta lebih rakyat Indonesia kenapa sangat-sangat sedikit yang bisa mencapai top level di perusahaan kelas dunia. Suatu kali saya berkesempatan untuk mewawancarai seorang ekspatriat, petinggi salah satu perusahaan di Jakarta dan saya beranikan bertanya hal tersebut. Dia menjawab “saudara-saudara anda terlalu sulit untuk mengatakan TIDAK kepada orang lain.”

Saya kemudian mbatin, iya benar juga ternyata. Saya cari tahu kenapa masyarakat kita seperti itu. Menurut Mochtar Lubis, dalam bukunya yang berjudul “Manusia Indonesia, Sebuah Pertanggung Jawaban" manusia Indonesia memiliki sifat dasar, yaitu:

Hipokritis alias munafik.

Berpura-pura, lain di muka - lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia. Kita dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya ataupun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.

Kita terlalu sulit untuk mengatakan “tidak” atas ide-ide yang terasa kurang pantas. Padahal seorang pemimpin mutlak hukmnya harus bertindak tegas, tidak selalu berada di tengah-tengah.

Segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya,putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya

“Bukan saya’, adalah kalimat yang cukup populer di mulut manusia Indonesia. Kita terlalu naïf untuk menyadari bahwa diri kita salah, untuk mengintrospeksi diri kita. Menurut Sudjiwo Tejo, budayawan Indonesia, hal ini disebabkan oleh pola didik yang salah. “Saat kita kecil kita selalu diajari menyalahkan pihak di luar diri kita, misalnya saat kepleset, orang tua biaanya langsung memukul lantai dan bilang lantainya yang nakal,” ungkapnya dalam website pribadinya, sujiwotejo.com.

Berjiwa feodal.

Prinsip “asal bapak senang” masih sering melekat dalam keseharian masyarakat kita. Kita lebih sering melihat kepangkatan seseorang daripada keahlian atau kecakapan mereka. Saat ada orang yang memakai jaket tentara kita menjadi sopan, namun saa melihat orang berpakaian urakan kita bisa memperlakukan mereka seenaknya.

Masih percaya takhyul

Bahkan hingga millennium ketiga ini, dimana manusia sudah menyeimbangkan antara logika dan kebainan manusia Indonesia masih banyak yang percaya bahwa batu, gunung, patung, pedang, itu punya kekuataan gaib, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua. Kepercayaan serupa ini membawa manusia Indonesia jadi tukang bikin lambing dalam bentuk jimat-jimat dan jampi-jampi. Padahal kenyataannya bukankah segala kesuksesan itu diraih hanya dengan kerja keras?

Watak yang lemah. Karakter kurang kuat.

Manusia Indonesia kurang dapat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk ’survive’ bersedia mengubah keyakinannya, terutama saat berada dalam kelompok, kecenderungan untuk mengikuti perilaku kelompok sangat sering terjadi.

Tidak hemat

Tidak heran saat Indonesia berada dalam kondisi terus berkembang seperti sekarang pola hidup masyarakat pun semakin konsumtif. Prinsip nge-trend dan up to date menjadikan kita semakin boros. Lihat saja berapa jumlah smartphone beredar di Indonesia, jika Apple atau Blackberry mengeluarkan 10 kali produk baru dalam setahun dapat dipastikan masyarakat tetap bergerombol membeli saat hari pertama.

Lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa

Anda pasti tahu soal trend investasi bodong atau penggandaan uang yang dilakukan oleh orang yang mengaku sebagai dukun. Itu merupakan ciri bahwa masyarakat kita masih banyak yang mau cepat kaya. Bagi mereka proses tidaklah penting, yang penting adalah hasil.

Demikianlah adanya masyarakat kita. Namun apakah kita menyerah begitu saja? Bukankah saudara-saudara muslim berprinsip Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum jika kaum tersebut tidak berusaha merubah nasibnya sendiri?Saya percaya kita bisa menjadi bangsa yang semakin maju, tidak hanya dilihat dari apa yang dipakai, atau yang dipunya, tapi apa yang ada di kepala kita




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline