Saya baru saja kedatangan seorang kawan dari Sulawesi Tenggara, namanya Harta. Di ujung hari, kami duduk menikmati secangkir kopi di balkon.
“Kopinya dari Toraja”, kataku untuk memecah sepi dan memulai pembicaraan.
Ia menimpali dengan kalimat cukup sarkas.
“Saya melihat di berita sedang longsor di jalan menuju Toraja” katanya
“Iya, beberapa titik seperti di Enrekang dan Luwu sedang ditimpa banjir dan longsor” balasku
“Pasti karena tambang di Latimojong”, Harta Mendiagnosa sambil melihatku dengan tatapan sinis
Kemudian, dia mulai menyeruput kopi dan membakar rokok pertamanya sore itu. Selepas menghembuskan asap rokok dia mulai bercerita sambil memperlihatkan kondisi kampungnya yang mulai kerasukan tambang.
Sulawesi Tenggara memang menjadi sasaran area pertambangan. Berdasarkan data BPS Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2022 tercatat ada 156 perusahaan tambang nikel yang beroperasi di 11 Kabupaten. Selain itu ada 11 perusahaan tambang emas, 4 perusahaan tambang kromit, 3 perusahaan non mineral, dan 33 tambang aspal. Jika dijumlah seluruhnya,. angkanya mencapai 197 perusahaan tambang.
Jika diasumsikan perusahaan tambang masing masing memilik konsesi tambang sebesar 200 hektare. Di Sulawesi Tenggara, telah mewakafkan lahannya sebesar 39.400.000 hektare. Jumlah ini bisa membentuk 10 Kota Madya di Indonesia.
Kondisi Sosial Warga Terdampak Tambang
Harta kembali menyeruput kopinya, sesekali menghisap rokok yang dia letakkan berserakan di atas meja. Harta membeli rokok tidak dalam satu bungkus, Harta lebih senang mengecer.
“Kurang uang” katanya sambil menyindir Negara yang mematok pajak terlalu tinggi terhadap rokok. Akibatnya, Harta tidak mampu menikmati tembakau secara maksimal di negrinya sendiri.
Kondisi Warga mengeluhkan hasil panen akibat Tambang