Lihat ke Halaman Asli

Ian Hidayat

Sedang bercanda cita

Berdamai dengan Badai

Diperbarui: 24 April 2024   19:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Selepas Badai/ Dokumentasi pribadi

Takutkah tuan puan sekalian kepada badai?
Takutah Tuan Puan kepada mati?
Hidup Tuan Puan sudahkah mati berkali kali?

 
Hujan memang memancing kenang yang paling jauh dari waktu sekalipun. Saya mencoba berdialog kepada diri sendiri.

Saya takut kepada badai
Saya takut kepada mati
Semua orang hidup dalam kematian yg berkali kali

Dalam badai sore ini, saya berjalan di bawah hujan. Membeli sebungkus rokok dan makanan kecil, saya sebenarnya tidak butuh makanan kecil. Itu hanya alibi agar Ibu tidak tau saya membeli rokok. Maklum, saya kasih takut ketika Ibu marah melihat saya merokok.

Di seberang warung, ada bangunan madrasah idtidyah (setingkat sekolah dasar). Orang orang ramai duduk di atas motor, lengkap dengan jas hujannya masing-masing. Rupanya para orangtua siswa yang menjemput anak nya masing-masing.

Kejadian itu memantik kenang, saat bapak masih berkuliah di Unhas. Dan saya masih menjadi bocah ingusan yang membayangkan menjadi Luffi dalam anime One Piece, bermimpi menjelajahi dunia dengan melawan segala kekuatan jahat yang mendominasi. Pikiran itu memang cukup lucu untuk dikenang.

Bapak juga pernah menjadi orang di seberang warung. Duduk menanti bocahnya dengan jas hujan besar. Saya kegirangan melihat Bapak di luar, bagaimana tidak? Waktu itu hujan badai. Saya membayangkan akan duduk manis di dalam ruang kelas yang gelap diiringi dengan bunyi hujan, sesekali disertai petir, sesekali disertai poster berjatuhan akibat angin kencang. Kedatangan Bapak membuat bocahnya kegirangan. Waktu itu saya takut badai, sekaligus mencintainya.

Sekira 10 tahun kemudian, badai datang lagi, bersama dengan hujan, juga bersama tangis orang orang. Kali ini gantian, saya yang mengantar Bapak, menuju dusun tempat orang orang dimakamkan.

Badai hanya ditemani hujan, tidak ada petir dan angin kencang seperti biasanya. Hanya sinar mentari dan angin sepoi, air juga tidak terlalu banyak jatuh dari langit, hanya dari mata orang orang yang sedang berkabung. Orang di kampung menyebutnya hujan orang mati. Sekali lagi, saya takut badai, saya tidak jadi mencintainya.

Dokumentasi Pribadi Penulis

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline