Lihat ke Halaman Asli

Ian Hidayat

Sedang bercanda cita

Mengalahkan Tuhan Ramadhan

Diperbarui: 10 April 2024   05:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Masjid | Pixabay


 
Apa yang kita rayakan di tanggal 1 syawal?

Hari itu, orang orang bersenandung menymbut 1 syawal. Hari itu bagi sebagian orang adalah hari kemenangan. Namun, sebetulnya apa yang kita menangkan di hari tersebut. Pada realitanya kita sama sekali tidak memulai pertandingan apapun dengan siapapun.

Jawaban itu mengantar saya pada ingatan di malam lain di Bulan Ramadhan. Seorang penceramah berkata
"Semoga kita dapatkan meningkatkan nilai ketauhidan kepada Tuhan yang maha esa.  Bukan malah menyembah Bulan Ramadhan"

Kalimat singkat tersebut sebenarnya menyampaikan pesan yang cukup dalam. 1 Syawal disebut juga sebagai idul fitri. Secara terminologis hari tersebut dapat kita artikan kembali suci atau bersih. Pada hakikatnya, berpuasa dapat diartikan menuju jalan kesucian atau kalimat sederhananya "mensucikan diri". Baik secara batiniah maupun lahiriah.

Sebagai makhluk yang dibekali nafsu, manusia pada dasarnya tidak terlepas dari dosa dan kerasukan. Hal ini disinggung oleh Hobbes dengan kalimat terkenalnya "homo homini lupus". Atau jika dibahasa Indonesiakan berarti "manusia adalah serigala bagi manusia lainnya". Menurut Hobbes manusia memiliki kemungkinan mencelakakan manusia lainnya demi kepentingan pribadinya.

Dalam literatur ke-islam-an, sifat ini bisa kita kategorikan sebagai sifat "sabi'yah". Sifat seperti binatang liar, kemauan untuk kesemena-menaan untuk tetap hidup, padahal tanpa kesemanaan itu manusia akan tetap hidup. Puasa, penting untuk menekan sifat sifat itu.

Puasa dalam bahasa Arab disebut shaum. Shaum dapat diartikan sebagai menahan diri. Asratillah mengkonsepkan shaum sama seperti aphrodisia. Yaitu tradisi Yunani yang menunjuk pada keterampilan mengelola tubuh. Atau dalam literatur Michael Fucalt sebagai seni eksistensi diri. Jadi, Asratillah dalam tulisannya tersebut mengukur keberhasilan puasa ketika kerakusan manusia sudah lenyap pada dirinya.

Saya percaya, agama (Islam) melalui perintah puasanya memiliki makna internal dengan diri masing masing manusia. Walaupun, berangkat dari realitasnya agama kadangkala hadir sebagai pembunuh dari pemikiran kritis manusia. 

Pandangan Freud memberikan kesan bahwa agama gagal meletekkan moralitas pada dasar yang stabil. Sehingga, norma etis bergantung pada kepercayaan yang sifatnya abstrak. Jika manusia kehilangan sosok yang Tuhan atau Messiah yang maskulin, maka manusia itu akan seperti anak kecil yang kehilangan rumahnya.

Realitas yang terjadi memang agama digunakan sebagai alat kontrol atas moral, biasanya digunakan oleh penguasa yang memiliki status quo untuk menjaga kekuasaannya agar tetap berkuasa. Kejadian pada era Soeharto yang menguasai narasi di MUI sebagai pembawa tafsir atas keberadaan beragama di Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline