Kami percaya bahwa kematian adalah hak otoritas Tuhan yang Maha Esa.
Kami juga percaya bahwa setiap makhluk akan mengalami kematian.
Namun, kami tidak lupa diajarkan takdir muallaq. Bahwa manusia memiliki otoritas bentuk ikhtiar atas apa yang dikhendaki. Manusia juga memiliki otoritas bentuk resensi dari apa yang tidak dikhendaki.
2019 menguak kisah bahwa manusia berhak membangun pertahanan atas apa yang tidak dikhendaki , termasuk dari penguasa. Para penguasa telah sewenang wenangnya menjual asset asset berharga di Negri kami atas nama investasi dan pembangunan, omnibus law menjadi gabungan dari semua kesedihan yang berkamuflase atas dasar ekonomi kerakyatan. Jutaan manusia turun ke jalan menolak hal itu.
Termasuk kawan Immawan Rendi dan kawan Yusuf Kardawi. Sayangnya, mereka berdua harus merenggang nyawa setelah mendapat tembakan dari aparat kepolisian.
Kejanggalan dalam proses peradilan kasus kematian tersebut kami anggap sebagai ketidakbecusan Negara dalam menjalankan Hak Asasi Manusia (HAM). Mulai dari hukuman yang diberikan kepada pelaku sampai pada mekanisme penyelesaiannya yang bukan memalalui pelanggaran HAM berat.
Setidaknya negara perlu paham mereka memiliki kewajiban menjaga hak hak dasar manusia seperti hak untuk hidup, hak memperoleh keadilan, hak atas keamanan
Kami tidak menuntut negara untuk menghidupkan kembali kawan kawan kami. Kami hanya mengkhendaki Negara berhenti memunculkan kematian, karena Negara bukan Tuhan ataupun malaikat pencabut nyawa.
Apa yang kami lakukan adalah bentuk resensi kami yang menolak Negara menjadi Tuhan. Mereka tidak punya otoritas apapun terhadap hidup kami, mereka tidak memberi kami makan, mereka tidak melindungi kami, mereka hanya mengambil uang pajak.
Bisa saja suatu saat nanti, saya, kamu, dia, kita, kalian, kami, menjadi korban otoritarian negara. Kami meminta selesaikan kasus kematian mereka.