Buat banyak orang, kenyataan bahwa Quick Count dapat secara akurat memotret hasil pemilu hanya dalam waktu singkat melalui proses sampling mungkin terkesan membingungkan. Burhanuddin Muhtadi menjelaskan (menit 5:40 ff) hal ini secara ilmiah.
Jadi akurasi dapat dihasilkan dengan dua hal: (1) Menjaga jumlah TPS yang diambil sesuai proporsinya dari jumlah total TPS yang ada, (2) Harus dijaga agar data tidak datang hanya dari wilayah/golongan salah satu paslon, artinya data cukup random (acak) dan tidak bias.
Dengan dua kunci metode ini, akurasi Quick Count dapat dijaga berada dalam error margin (kemungkinan kesalahan, atau tingkat ketepatan) yang diinginkan.
Jadi ulah satu golongan yang mengklaim bahwa dengan data real count mereka mempunyai hasil kemenangan yang lebih sah, sebenarnya datang dari ketidaktahuan ilmiah.
Data real count yang masih sedikit, atau bahkan tidak dijaga tingkat keacakannya (bebas bias), maka kemungkinan melesetnya juga akan besar (bandingkan misalnya di realcount.id/) .
Kompas menunjukkan bahwa perbedaan hasil Quick Count dari banyak lembaga hanya di bawah 1% saja. Akibatnya tuduhan bahwa semua lembaga ini bohong atau salah, sebenarnya sama sekali tak berdasar.
Apalagi pada kenyataannya BPN tidak berani menjawab tantangan Persepi untuk terbuka terhadap proses penghitungan real count mereka.
Apakah tidak mungkin bahwa lembaga Quick Count ditunggangi kepentingan golongan sehingga menjadi mafia survei seperti yang dituduhkan oleh Fadli Zon (menit 1:45 ff dan menit 5:20 ff)? Tentu saja mungkin!!
Hal ini sebenarnya sudah pernah terjadi pada tahun 2014 ketika Puskaptis dan IRC yang terbukti angkanya melenceng sangat jauh dari hasil real count KPU mengindikasikan kemenangan Prabowo pada Quick Count-nya.
Dan tidak heran pada tahun 2019 Puskaptis kembali berusaha meminimalkan kemenangan Jokowi dibanding lembaga Quick Count lainnya. Mafia survei memang ada, tapi juga telah dan akan terbuka kedoknya.