Lihat ke Halaman Asli

Nicholas Martua Siagian

Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Penyuluh Antikorupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK, Peneliti, Tim Ahli

Menegaskan Kembali: KPK Bukan Kementerian

Diperbarui: 21 November 2024   19:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Gedung Merah Putih KPK. Diakses dari https://www.rmolsumut.id/pagi-ini-bupati-labuhanbatu-dkk-digiring-ke-gedung-kpk

Opini ini adalah murni pendapat pribadi berbasis akademik, tidak merupakan representasi serta afiliasi dengan institusi negara. 

Berbicara soal keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejauh ini masih menjadi isu yang sangat hangat dibicarakan masyarakat, mulai dari kalangan anak sekolah hingga orang dewasa. Sejak berdirinya KPK yang begitu eksis di televisi saat itu, aksinya yang memperlihatkan penangkapan koruptor membuat masyarakat mengenal istilah koruptor, korupsi, KPK, Tahanan KPK, hingga Rompi orange.

Begitu garangnya KPK pada saat itu sebenarnya adalah langkah yang edukatif bagi masyarakat hingga penyelenggara negara, selain memberikan edukasi tentang tindak pidana korupsi, juga memberikan kesadaran akan bahaya korupsi, serta rasa takut untuk melakukan korupsi. Langkah ini juga menjadi perbaikan secara sistem bahwa negara hadir melalui penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. 

Garangnya KPK membasmi koruptor pada saat itu, tak jarang membuat penyelenggara negara mulai dari tingkat desa hingga pusat takut jika berhubungan dengan KPK, bahkan dalam hal koordinasi dan kerjasama sekalipun seringkali membuat para penyelenggara negara takut jika KPK datang.

Tidak mungkin KPK pada saat itu bisa 'garang' tanpa adanya dukungan kewenangan melalui undang-undang, bukan?  Artinya bahwa ada jaminan secara hukum. Adanya independensi lembaga yang dijamin melalui undang-undang. Kenyataan ini sebenarnya menunjukkan bahwa suatu lembaga negara akan berfungsi dengan baik, apabila marwah dan eksistensi lembaga tersebut dijaga.

Baik buruknya suatu lembaga negara sangat tergantung bagaimana pemerintah dan DPR memperlakukan lembaga tersebut melalui regulasi yang dibuat. Semakin diberikan kewenangan yang kuat melalui undang-undang, maka semakin tercapai tujuan dari lembaga tersebut dibentuk. Sebaliknya, semakin kewenangannya dilucuti, maka semakin tumpul kemampuannya.

Keberadaan KPK saat ini yang merupakan hasil revisi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 bukanlah sebuah proses instan yang datang begitu saja. Mulai dari perdebatan panjang revisi UU KPK, demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa, hingga tragedi Tes Wawasan Kebangsaan yang menghantarkan pemecatan pegawai KPK.

Belum lagi kontroversi Eks Ketua KPK, Firli Bahuri yang telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 22 November 2023, artinya hampir setahun tak kunjung tuntas. Pimpinan yang seharusnya menjadi contoh, namun menjadi preseden buruk bagi SDM dan kelembagaan KPK. Tidak hanya itu, taring KPK dalam melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) kian menciut. Masyarakat rindu melihat aksi KPK menangkap para koruptor, turun ke daerah tiba-tiba untuk menangkap mereka yang tidak setia pada sumpah jabatan dan mencuri kekayaan negara ini.

Dari beberapa kasus OTT yang dilakukan oleh KPK, tidak sedikit diantara para koruptor mengajukan praperadilan. Mulai dari Praperadilan Kasus Sahbirin Noor atau yang dikenal Paman Birin, Praperadilan Kasus Budi Gunawan, Praperadilan Kasus Ilham Arief Sirajuddin, Praperadilan Kasus Marthen Dira Tome, Praperadilan Hadi Poernomo, Praperadilan Kasus Taufiqurahmanm  Eks Bupati Nganjuk, Praperadian Kasus Eddy Hiariej, dan lain sebagainya.

Dalam Praperadilan tersebut tidak sedikit koruptor bisa menang melawan KPK. Tentu, ini sebenarnya menjadi pertanyaan kepada KPK, mengapa KPK bisa kalah melawan koruptor? Apakah penangkapan yang dilakukan tidak berdasarkan alat bukti dan pemeriksaan? Atau apakah, KPK terlalu tergesa-gesa sehingga menetapkan tersangka yang seharusnya tidak menjadi tersangka? Kalau memang demikian, maka KPK lebih baik mengurangi kuantitas OTT ketimbang melakukan OTT namun kalah pada Praperadilan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline