Lihat ke Halaman Asli

Nicholas Martua Siagian

Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Penyuluh Antikorupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK, Peneliti, Tim Ahli

Inovasi Melalui Dekosentrasi Lembaga Antirasuah, Apakah Menjawab Ekspetasi Masyarakat?

Diperbarui: 31 Agustus 2023   15:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, antirasuah yang berarti anti korupsi. Sedangkan lembaga artinya adalah sistem badan sosial atau organisasi yang melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi, secara sederhana lembaga antirasuah adalah badan atau organisasi yang memiliki peran dalam antikorupsi. Kalau berbicara tentang lembaga yang bergerak dalam anti korupsi, maka identik dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, maupun Kepolisian. Namun, kali ini penulis ingin membedah terkait keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 1 angka 3 dijelaskan bahwa, Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini. Selanjutnya, di pasal 19 juga disebutkan secara jelas bahwa, Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Dari kedua pengaturan dalam undang-undang tersebut, dapat disimpulkan bahwa KPK adalah adalah lembaga negara dalam rumpun eksekutif yang keberadaanya hanya di ibu kota negara, namun wilayah kerjanya meliputi seluruh Indonesia.

Dalam melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap seluruh penyelenggara negara di seluruh wilayah Indonesia menjadi tantangan bagi lembaga antirasuah ini. Pada hakikatnya, penyelenggara negara adalah pejabat yang melaksanakan kekuasaan eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya, meliputi seluruh elemen pemerintahan baik, kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, badan usaha, hingga pemerintah desa. Tentu, ini menjadi sebuah tantangan dan dilema antara realita kelembagaan dari KPK dengan ekspektasi masyarakat.

Kalau kita berkaca dari realita, dalam struktur pemerintahan, Indonesia memiliki 38 provinsi, kurang lebih 48 kementerian, 514 kabupaten/kota, 95 BUMN, 1.056 BUMD  terdiri dari 205 badan usaha milik pemerintah provinsi dan 851 BUMD milik pemerintah kabupaten/kota, hingga 83.794 desa/kelurahan. Dari data di atas dapat kita ambil kesimpulan, bahwa terjadi disparitas antara ekspektasi masyarakat dan realitas kelembagaan KPK saat ini.

Kalau kita berkaca dari Data Penanganan Tipikor oleh KPK hingga 2021, terdapat 3 pelaku dengan jumlah terbesar yaitu, swasta sebanyak 336 orang, Anggota DPR dan DPRD sebanyak 281, Eselon I, II, III, dan IV sebanyak 249 orang, Bupati/Wakil Bupati 133 orang. Angka ini menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia masih sangat tinggi. Dapat kita simpulkan, pelaksanaan otonomi daerah maupun dekonsentrasi juga membuka celah terjadinya tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dalam pencegahan  dan pemberantasan tindak pidana korupsi, penulis ada beberapa kelemahan atau kekurangan dari kelembagaan yang ada saat ini. Kelembagaan belum bisa menjawab ekspektasi masyarakat dalam menciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Lalu apa yang menjadi gagasan utama penulis?
Menurut pandangan penulis, ada beberapa inovasi kelembagaan yang dapat menjawab permasalahan ini.
1. Pemerintah harus mendekonsetrasi keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi
Dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dijelaskan bahwa, dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/walikota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Dengan opsi dekonsentrasi, harapannya, dalam melaksanakan tugas, pokok, dan fungsi  di daerah, KPK dapat membentuk kantor perwakilan wilayah di setiap wilayah provinsi Indonesia. Dengan adanya kantor perwakilan wilayah dapat mempercepat pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi hingga ke seluruh sektor yang ada di daerah. Dekonsentrasi bukan berarti mengurangi independensi, namun mempercepat koordinasi dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

2. Pemerintah harus memperbesar Anggaran Komisi Pemberantasan Korupsi
Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dikenal istilah biaya sosial korupsi. Biaya sosial tersebut terdiri atas biaya antisipasi kejahatan, biaya akibat kejahatan, dan biaya reaksi terhadap kejahatan. Apabila ide mendekosentrasikan KPK menjadi langkah yang diambil pemerintah, maka anggaran terhadap kelembagaan KPK juga harus ditingkatkan. Karena anggaran sangat mempengaruhi tugas, pokok, dan fungsi suatu lembaga.

Kata Penutup dari Penulis
Akan menjadi sebuah kesia-siaan kalau kita berbicara tentang pemberantasan tindak pidana korupsi tanpa memperhatikan dan melihat kelembagaan. Kelembagaan itu ibarat sebuah jati diri. Kalau jati dirinya sudah tidak ada, mustahil akan dihargai. Kalau lembaganya sudah ditumpulkan, mustahil tugas, pokok, dan fungsinya akan berjalan sesuai harapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline