Lihat ke Halaman Asli

Mahéng

TERVERIFIKASI

Travel Writer

Iduladha di Perantauan: Merayakan Kurban dengan Kuwah Beulangong dan Semangat Gotong Royong

Diperbarui: 19 Juni 2024   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi semangat gotong royong saat perayaan Iduladha (KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Takbir berkumandang dengan semarak di kompleks Paradise Loft, Karangmojo, Purwomartani, Kec. Kalasan. Suaranya syahdu, menggetarkan hati siapa pun yang mendengarkannya. Hangatnya udara malam, Minggu, 16 Juni 2024, tak menyurutkan semangat umat Muslim untuk merayakan Iduladha.

Iduladha 1445 Hijriah kali ini terasa begitu spesial. Pasalnya, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan pemerintah sepakat bahwa 10 Dzulhijjah jatuh pada Senin, 17 Juni 2024.

Meskipun mayoritas umat Islam bersuka cita merayakan Iduladha pada tanggal yang sama, tidak semua orang berkesempatan merasakan kebersamaan itu.

Bagi saya, Iduladha kali ini tetap terasa berbeda. Di ujung telepon, suara ibu terdengar nyaring, bahkan lebih nyaring dari pekikan takbir, menanyakan pertanyaan yang sama, "Pajan wo? (Kapan pulang?)" Pertanyaan template yang sulit saya jawab.

Sudah enam kali Iduladha saya lewati di perantauan, jauh dari keluarga dan kampung halaman. Menyantap leumang, menjahili teman, bersalam-salaman, hingga menikmati kudapan.

Untuk menetralisir rasa rindu, saya berinisiatif memasak salah satu hidangan khas Aceh Rayeuk, Kuwah Beulangong. Sejatinya, hidangan ini dituliskan dengan karakter khusus, ada dua titik di atas huruf o, namun sayangnya Kompasiana belum mendukungnya.

Sebagai saran, mungkin admin Kompasiana dapat mempertimbangkan untuk menambahkan berbagai karakter agar penulisan nama hidangan khas daerah dapat lebih akurat, termasuk saat menulis nama saya, Mahéng, di profil (e) dengan aksen bisa muncul, sementara di badan artikel kadang tidak.

Atau contoh lain, Kylian Mbappé.

Memasak Kuwah Beulangong di Jogja bukan perkara mudah. Bumbu-bumbu khas seperti on teumerui (daun kari), cara menulis o-nya seharusnya juga berbeda, dan kelapa sangrai serta gongseng relatif sulit ditemukan. Di pasar tradisional, banyak yang kebingungan, "Benda apa itu?" Seperti benda aneh bagi mereka ketika saya menanyakan, "Ada daun kari, Bu?" 

Belum lagi memadukannya dengan cita rasa Kuwah Beulangong khas Gampong Paya Baro, Woyla Timur, Aceh Barat, tempat saya lahir dan besar. Untungnya, masih ada harapan. Berkat bantuan ibu melalui telepon, saya bisa memahami langkah-langkahnya dengan lebih detail.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline