Lihat ke Halaman Asli

Mahéng

TERVERIFIKASI

Travel Writer

Terjebak Obsesi "Luar Biasa": Artifisialisasi Menggerus Kepekaan dan Keberagaman di Era Digital

Diperbarui: 16 Mei 2024   07:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi unsplash.com/@visuals

Mungkin secara fisik kita tidak bisa bersatu, tapi secara spiritual dan melalui media sosial, kita dapat bertemu.

Berapa jam sehari kamu habiskan menatap layar gawai? Berapa ribu detik di antaranya terbuang untuk menggulir media sosial? Konten apa yang paling sering muncul di linimasamu?

Di tengah hiruk-pikuk, gonjang-ganjing, serta kegiatan di media sosial, satu hal fundamental mengakar kuat: kegagalan kita untuk menjadi orang biasa. Kita terobsesi untuk menjadi "luar biasa" dan mendapatkan validasi dari orang lain.

Lihat saja di Instagram, foto-foto yang diunggah selalu dipilih dengan angle terbaik, tanpa cacat. Di TikTok, filter bertebaran, memanipulasi realitas menjadi versi yang "luar biasa".

Inilah inti permasalahannya: Ketika semua orang berlomba menjadi luar biasa, makna 'luar biasa' itu sendiri menjadi kabur dan terdistorsi serta tunggal. Orang sukses, misalnya, di media sosial sering didefinisikan sebagai orang kaya raya dengan aset berlimpah.

Pemaknaan tunggal "luar biasa" ini menjadi borgol yang mengunci otak kita. Terjebak dalam pola pikir sempit, menganggap segala sesuatu yang berbeda adalah salah. Kita diciptakan bhineka, tetapi karena ingin menjadi orang luar biasa akhirnya menjadi gagal memahami kebinekaan.

Fenomena obsesi luar biasa tak hanya merajalela dalam kehidupan sosial, tapi juga menginvasi ranah agama. Kita kerap disuguhkan dengan perdebatan dan konflik antarumat beragama yang berakar dari ketidakmampuan untuk memahami dan menerima perbedaan.

Masing-masing pihak bersikukuh bahwa agama, kelompok, dan penafsiran merekalah yang paling luar biasa. Klaim-klaim seperti "agamaku lah yang paling benar", "kelompokku lah yang paling beriman", "kiaku/pendeta/banteku lah yang paling suci", dan "manhajku lah yang paling sempurna" menjadi lumrah terdengar.

Artifisialisasi Kehidupan dan Memudarnya Kepekaan

Era digital, dengan media sosial yang serba cepat dan instan, dibantu kecerdasan buatan, telah membawa dampak signifikan pada manusia, terutama dalam hal kemampuan otak dan kepekaan. Kemampuan manusia untuk menganalisis informasi semakin memudar. 

Hal ini disebabkan oleh kecenderungan untuk mengandalkan informasi instan dan siap saji yang tersedia di media sosial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline