Melampaui sejarah jauh lebih berat alih-alih mengulanginya.
Setiap kali Timnas Indonesia meraih kemenangan, nama Bung Towel atau Tommy Welly, hampir selalu menghiasi layar gawai dan explore media sosial saya.
Pengamat sepak bola ini kerap melontarkan kritik pedas terhadap Shin Tae-yong (STY), pelatih Timnas, yang memancing reaksi geram dari para netizen.
Terlepas dari tepat atau tidaknya kritik Bung Towel, perlu diingat bahwa ini adalah haknya sebagai warga negara. Sama seperti para pembela STY yang juga menggunakan hak mereka untuk mendukung.
Mentalitas bangsa kita memang masih terbilang belum terbiasa dengan kritik. Sehingga, ketika ada yang berbeda pendapat, mereka justru menjadi sasaran perundungan.
Fenomena ini memicu pertanyaan mendasar: Mampukah kita menerima perbedaan pendapat dengan lapang dada? Ataukah budaya cyberbullying akan terus merajalela, menggerogoti ruang diskusi yang sehat dan konstruktif?
Menurut artikel yang ditulis oleh dr. Nadia Octavia bertajuk Orang-Orang Ini Rentan Jadi Korban Bullying, salah satu faktor utama seseorang menjadi korban perundungan adalah karena memiliki "sesuatu yang berbeda" dari mayoritas.
Dalam konteks ini, "sesuatu yang berbeda" yang dimiliki Bung Towel adalah pendapatnya tidak sama dengan mayoritas pendukung timnas, termasuk Coach Justin atau Koci.
Mayoritas pendukung timnas, termasuk saya, merasa senang dan puas dengan performa tim nasional di bawah asuhan STY. Namun, saya juga setuju dengan posisi Bung Towel sebagai "pemantau" dan "penjaga" agar kita tidak terlalu terlena dengan euforia, sebab masih banyak PR yang harus kita garap.
Mungkin kamu sering mendengar pembelaan, kritik Bung Towel tidak membangun, ya memang!