Membaca adalah menumbuhkan rasa. Puasa ialah memupuk rasa. Sastra juga menyuburkan rasa. Sebab itu, membaca sastra di bulan puasa adalah belajar menjadi manusia.
Malam semakin kelam. Jangkrik masih bersahut-sahutan dengan riang. Di bawah temaram cahaya penerang, berbagai tanaman di sekitar Sekolah Kebon milik Joni Ariadinata, sastrawan kenamaan Indonesia, masih berdiri dengan garang.
Di antara rimbunnya bambu, asam jawa, cocor bebek, bakung lele, mengkudu, belimbing wuluh, pohon pisang, dan alang-alang, kami bertukar ide dan gagasan.
Di tepi Kali Bedog, Gamping Kidul, Ambarketawang, Yogyakarta, kami duduk berbincang, menyelami dinamika literasi di Indonesia, Prancis, hingga Vietnam.
Obrolan mengalir begitu saja, diiringi gemericik air kali dan suara serangga memecah keheningan. Sesekali tawa kami pecah, menghangatkan suasana malam.
Meskipun ada yang berseloroh tempat ini seperti "lemah kiwa" atau "tempat jin buang anak", kami tidak acuh. Semua berhak hidup di bumi, termasuk jin makhluk Tuhan.
Tepat di belakang rumah utama, atau di sebelah timur Sekolah Kebon, berdiri dengan bagas pohon munggur, kihujan, atau yang dikenal juga sebagai pohon trembesi atau rain tree.
Pohon ini memiliki kemampuan unik, yaitu menyerap air tanah dan kemudian menyulingnya menjadi air bersih berlimpah. Alhasil, dapat memenuhi kebutuhan air rumah dan Sekolah Kebon.
Tak hanya itu, pohon trembesi juga mampu menyerap CO2 puluhan kali lebih banyak daripada pohon biasa. Satu pohon hujan, mampu menyerap 28,5 ton karbondiokasida setiap tahunnya.
Pria yang lahir pada tanggal 23 Juni 1966 ini memasang sejenis drum plastik besar untuk menampung air yang keluar dari pohon trembesi. Air tersebut kemudian disalurkan ke rumah dan bangunan Sekolah Kebon melalui pipa pralon, dan sisanya dialirkan ke Kali Bedog.
Hilir malam semakin larut. Gelas kopi kami sudah kosong beberapa kali. Lamun, kacang, dan ubi rebus yang menemani obrolan kami belum tandas. Akan tetapi, perbincangan kami harus segera diakhiri.