Lihat ke Halaman Asli

Mahéng

TERVERIFIKASI

Travel Writer

Belajar dari Singapura dan Korea Selatan: Membangun Industri Musik dan Budaya melalui Strategi Konser dan Promosi yang Tepat

Diperbarui: 8 Maret 2024   11:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konser Taylor Swift The Eras Tour di Singapura (TIM MEDSOS KOMPAS/JORDY PRAYOGA)

Beberapa hari terakhir, layar gawai dan explore media sosial saya dipenuhi oleh 'pembelaan' Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong terkait tuduhan monopoli konser "Eras Tour" Taylor Swift.

Perdana Menteri Thailand, Srettha Thavisin, menukas bahwa Singapura menawarkan subsidi hingga 3 juta dolar Singapura per konser kepada Taylor Swift.


Sebagai imbalannya, bintang pop berusia 34 tahun diduga tidak akan tampil di negara lain di Asia Tenggara selama turnya. Rumor ini diperkuat oleh anggota parlemen Filipina, Joey Salceda.

Terlepas dari kontroversi yang beredar, langkah Singapura dalam mengamankan konser eksklusif dan premium ini patut diacungi jempol.

Keputusan Singapura untuk mengadakan kesepakatan eksklusif dengan Taylor Swift terbukti menarik jutaan penggemar penyanyi tersebut ke negeri singa.

Ini berpotensi meningkatkan pariwisata dan mendorong perekonomian Singapura melalui efek domino yang ditimbulkan, seperti peningkatan permintaan hotel, transportasi, dan konsumsi.

Singapura, dengan keterbatasan sumber daya alam dan budaya, telah lama menerapkan strategi serupa. Mereka mengimpor sumber daya dan budaya dari luar negeri untuk menunjang kemajuan negara.

Kondisi Singapura dengan keterbatasan sumber daya alam dan budaya seharusnya dapat menjadi bahan evaluasi bagi Indonesia yang kaya akan budaya. Kita memiliki ratusan atau mungkin ribuan jenis musik dan seni yang seharusnya bisa kita kembangkan.

Kita seharusnya juga bisa belajar dari Korea Selatan yang telah berhasil mencapai "soft power" di dunia melalui upaya pemerintahnya yang aktif mempromosikan drama Korea, film, dan musik pop yang dicanangkan lebih dari 23 tahun lalu.

Pada tahun 1998, pemerintah Korea Selatan aktif mempromosikan drama Korea, film, dan musik pop sebagai salah satu solusi krisis ekonomi.

Hal ini menghasilkan gelombang budaya pop Hallyu yang menarik minat masyarakat dunia untuk mencoba makanan khas Korea, mengunjungi negaranya, dan membeli produk-produknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline