Baru-baru ini, ribuan kepala desa dari seluruh Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Kepala Desa Se-Indonesia (Apdesi) melakukan aksi menuntut parlemen untuk segera mengesahkan perubahan kedua Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Ada beberapa klausul yang di-highlight, seperti perpanjangan masa jabatan kepala desa dari yang semula 6 tahun menjadi 9 tahun, serta perubahan alokasi dana desa pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Aksi unjuk rasa ribuan kepala desa di depan Gedung DPR menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi dasar tuntutan mereka?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya menghubungi Wahyudi Anggoro Hadi, kepala Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta pada Kamis 1 Februari 2024.
Wahyudi mengungkapkan bahwa perpanjangan masa jabatan kepala desa hanyalah isu pengantar dari banyaknya problem yang dihadapi kepala desa dan perangkat desa.
Wahyudi menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa menurun karena konflik yang terjadi selama masa Pilkades. Konflik ini dapat menyebabkan hubungan antara kepala desa dengan berbagai stakeholder, termasuk masyarakat, menjadi renggang.
Hal ini dapat menghambat kerja sama antara kepala desa dan masyarakat dalam pembangunan desa.
"Kepala desa hidup dan bekerja di desa tersebut. Lawan politiknya juga merupakan masyarakat desa setempat, dan di sisi lain juga harus melayani masyarakat setempat."
Oleh karena itu, Kepala desa dan masyarakat desa memiliki hubungan yang kompleks. Selain hubungan politik, mereka juga memiliki hubungan sosial, budaya, dan ekonomi. Upaya rekonsiliasi pasca-pilkades menjadi lebih rumit karena melibatkan berbagai aspek hubungan tersebut.
Perpanjangan masa jabatan menjadi 9 tahun menjadi salah satu isu yang menarik perhatian sehingga tidak luput dari dapur media, penting kata Wahyudi, tetapi bukan satu-satunya solusi untuk mengatasi permasalahan desa.
"Proses rekonsiliasi tidak semudah itu. Luka lama belum sembuh, sudah harus menghadapi konstestasi baru." lanjut Wahyudi.