Dalam era digital yang terus berkembang dan semakin terkoneksi, bahasa telah mengalami transformasi menjadi lebih dari sekadar medium komunikasi sehari-hari.
Lebih dari sekadar cara kita saling bertegur sapa, bahasa kini menjadi kekuatan yang mampu membuka pintu dunia, membangun relasi yang kuat, dan meraih pengetahuan baru dengan cepat.
Saya sendiri telah merasakan manfaat belajar bahasa secara langsung. Saat mempelajari bahasa Inggris dan Prancis misalnya, saya berhasil terkoneksi dengan individu dari berbagai belahan dunia.
Saya belajar tentang budaya mereka, dan mereka juga belajar tentang budaya saya. Hal ini membantu saya untuk lebih memahami dan menghargai mereka yang berbeda dari saya.
Di Indonesia, banyak orang yang masih kesulitan untuk menguasai bahasa asing, meskipun mereka sudah fasih berbahasa Indonesia dan bahasa daerah. Beberapa orang Indonesia bahkan menguasai tiga atau empat bahasa daerah, meskipun tidak fasih.
Di sisi lain, mereka sering menghadapi perundungan ketika belajar bahasa asing seperti bahasa Inggris.
Sebagai contoh, salah satu teman saya, Wawa, sering dirundung bahkan oleh guru bahasa Inggrisnya sendiri karena aksen bahasa Inggrisnya yang tidak seperti orang Inggris, dan grammar-nya juga sering menjadi bulan-bulanan.
Ada anekdot terkenal di Indonesia bahwa banyak orang menjadi "Grammar Police" selain menjadi polisi lalu lintas yang sering menghakimi tata bahasa pelajar bahasa.
Pada akhir Desember tahun 2023 lalu, sahabat saya, Hairi, dari Singapura berkunjung ke Yogyakarta. Kami sempat berbincang tentang isu polisi tata bahasa (Grammar Police) ini.
Hairi tidak memungkiri bahwa tata bahasa itu ada perlunya, tapi seharusnya tidak menjadi penghalang untuk terus belajar.