Lihat ke Halaman Asli

Mahéng

TERVERIFIKASI

Travel Writer

Dialog Tentang Hijab di Indonesia: Manifestasi Ketaatan, Identitas, atau Gaya?

Diperbarui: 5 September 2023   18:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Cangkrukan sesi 4. Foto: Dokumentasi Enichof Ma'arif 

Pekan lalu, guru bahasa Prancis saya, yang saya panggil "ma professeure", mengajukan pertanyaan yang cukup menggelitik. Jika ia pergi ke Indonesia, apakah ia seharusnya mengenakan jilbab atau tidak?

Sebagai informasi, ma professeure adalah seorang muslimah yang lahir dan besar di Prancis dan tinggal di Strasbourg. Ia tidak pernah mengenakan jilbab di Prancis karena pekerjaannya sebagai pegawai negeri.

Meskipun demikian, ia tetap mempertimbangkan untuk mengenakannya saat mengunjungi Indonesia nanti karena ia yakin akan lebih mudah dan lebih baik bagi seorang muslimah untuk mengenakan hijab di sini.

Pada saat yang sama, secara kebetulan, pertanyaan ini tampaknya berkaitan dengan sebuah insiden di mana seorang guru di Lamongan, Jawa Timur, memotong sebagian rambut dari 19 siswi kelas sembilan karena mereka tidak mengenakan jilbab dalam, atau ciput.

Saya menjawab pertanyaan tersebut dengan fakta bahwa meskipun sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, tidak semua muslimah mengenakan hijab. Meskipun ada beberapa isu tentang "pemaksaan jilbab" di beberapa institusi pendidikan, hal tersebut tidak dapat mewakili Indonesia secara keseluruhan. 

Sehari setelah perbincangan itu, saya menghadiri cangkruan di Gusdurian Jogja yang membedah pemikiran Gus Dur dalam artikelnya yang berjudul Kerudung dan Kesadaran Beragama. Artikel ini ditulis pada tahun 1983 dan pertama kali dimuat di Majalah Tempo edisi 29 Januari 1983. Dalam artikelnya, Gus Dur menggunakan istilah "kerudung" untuk menyebut "jilbab".  

Dalam cangkruan pada Jumat, 1 September 2023 tersebut, salah satu peserta diskusi, Naufal Rafif Muzakki, menyampaikan tanggapannya setelah membaca artikel Gus Dur. Ia mengatakan bahwa pada masa Orde Baru, saat artikel tersebut ditulis, pemakaian jilbab dilarang di sekolah-sekolah negeri, dan mereka yang memakainya distereotipkan sebagai kampungan, norak, dan tidak gaul.

Namun, setelah era reformasi, yang terjadi justru sebaliknya, tidak mengenakan jilbab dianggap terlarang dan dianggap sebagai bentuk kurang ketaatan dalam beragama.

Gus Dur menyoroti bahwa menggunakan kerudung pada mulanya adalah hal yang biasa di kalangan umat Islam, namun kemudian juga bisa menjadi masalah "kepekaan". Artinya, dari segi definisi, jilbab, hijab, atau kerudung itu sendiri memiliki beragam penafsiran, termasuk apakah wajib atau tidaknya.

Kepekaan terhadap keragaman pandangan terhadap penggunaan kerudung harus dihadapi dengan bijaksana dan penuh pengertian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline