Beberapa waktu terakhir, pemberitaan tentang tindakan mengerikan siswa yang nekat membakar sekolahnya sendiri mencuri perhatian publik.
Seperti yang baru-baru ini terjadi di Temanggung, Jawa Tengah, seorang siswa SMP melampiaskan sakit hatinya dengan membakar sekolahnya sendiri, sebagai respons atas tindakan perundungan dari teman-teman dan gurunya.
Namun, kejadian ini bukanlah satu-satunya tragedi yang terjadi, karena sebelumnya, seorang siswi berusia 15 tahun di Guyana juga melakukan tindakan serupa yang berujung pada kehilangan nyawa 19 orang.
Situasi semakin memburuk ketika publik mengetahui bahwa tindakan pihak sekolah tidaklah mendukung korban-korban perundungan. Terlebih, kepala SMP Negeri 2 Pringsurat malah menyalahkan R (14), korban perundungan, dengan menganggapnya sebagai seorang yang mencari perhatian atau caper.
Keadaan yang terjadi di sekolah tersebut mencerminkan fenomena yang lebih luas, yang dikenal sebagai bystander effect.
Fenomena ini tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah, tetapi bahkan dapat ditemukan dalam konteks rumah tangga, dan seperti gunung es, mungkin hanya sebagian kecil kasus yang terlihat publik.
Seringkali orang tua dan guru menggunakan pendekatan tough love dengan memberikan label seperti "caper", "bandel" atau "nakal". Ini akan memberi dampak negatif pada kondisi kejiwaan anak, bahkan ketika mereka sudah dewasa.
Penggunaan intonasi tinggi dalam menyampaikan pesan juga menjadi salah satu pola komunikasi yang umum digunakan.
Ungkapan seperti "lagian kamu sih..." atau "ngeyel kalau dibilangin..." seringkali diucapkan tanpa menyadari bagaimana kata-kata tersebut bisa merusak kepercayaan diri dan kesejahteraan emosional anak.
Dalam banyak kasus, orang tua sering menggunakan dalih "orang tua selalu tahu yang terbaik untuk anaknya" atau "guru sudah duluan makan asam garam" untuk membenarkan keputusan atau pendapat mereka terhadap anak.
Meskipun niat mereka mungkin baik, pendekatan ini dapat memiliki konsekuensi serius.