Setiba di Stasiun Solo Balapan, saya harus menunggu kedatangan dua teman saya, Rezza dan Wawa. Peron dipenuhi oleh orang-orang, sehingga menyulitkan mereka untuk keluar.
Waktu itu sekitar pukul lima sore, saat stasiun sedang ramai. Solo Balapan adalah stasiun kereta api utama di kota "Bengawan."
Stasiun ini menarik karena dulunya adalah tempat pacuan kuda sebelum dibangun pada tanggal 10 Februari 1870. Seiring waktu, stasiun ini telah bertransformasi menjadi pusat aktivitas yang menghubungkan Surakarta dengan kota lain di Indonesia.
Dengan fasilitas lengkap dan modern, stasiun ini memberikan kemudahan bagi para pelancong.
Sehingga stasiun ini menjadi vital dan penggerak ekonomi. Dengan 53 kereta api jarak jauh, 24 Kereta Commuter Line, 8 kereta bandara Internasional Adi Soemarmo, dan 12 kereta barang, stasiun ini beroperasi sepanjang hari, dipenuhi manusia hilir mudik, terutama pada jam sibuk.
Karena banyak orang tinggal di Surakarta tetapi bekerja di Yogyakarta, atau sebaliknya, sehingga mereka harus naik Kereta Rel Listrik (KRL) antara dua kota tersebut. Sementara yang lainnya, seperti saya, mengunjungi Surakarta untuk bersantai atau sekadar bertemu dengan teman lama.
Saya memulai perjalanan dan tiba di sini menggunakan KRL dari Stasiun Maguwo di Yogyakarta.
Saat Rezza dan Wawa tiba, suara iqomah bergema dari masjid stasiun, menandakan waktu salat Maghrib. Kami menuju masjid tersebut, yang dikenal sebagai Masjid An Nuur.
Masjid An Nuur, dengan gaya Timur Tengahnya, berdiri gagah dengan luas bangunan 735 meter persegi. Masjid dua lantai ini dapat menampung 600 jamaah, menjadikannya pusat kegiatan keagamaan bukan hanya untuk masyarakat setempat, tetapi juga para penumpang kereta api seperti kami.
Setelah menyelesaikan salat Maghrib, saya meraih gawai untuk melihat notifikasi. Saya menerima pesan di WhatsApp dari Indah, yang lebih lekat di lidah dengan panggil Ziba.