Suatu hari, telepon dari salah satu bank konvensional menggema di gawai saya.
Bukan, ini bukan panggilan untuk menagih utang, melainkan penawaran yang menggoda untuk memberi saya akses kepada dunia berutang. Ya, itu benar, mereka menawarkan saya sebuah kartu kredit.
Setelah selesai berbicara dengan telemarketer, saya memutuskan untuk bercerita pada pacar saya tentang penawaran kartu kredit tersebut.
Namun, seperti yang saya duga, tanggapannya tegas dan jelas: ia menentang gagasan tersebut. Bagi pacar saya, membuka pintu bagi utang adalah awal dari segala malapetaka.
Dia melihat kartu kredit sebagai potensi jebakan yang menggiurkan, yang dapat dengan mudah mempengaruhi keuangan kami secara negatif di kemudian hari. Dia merasa penting untuk kami, hidup sesuai kemampuan dan menjaga keseimbangan keuangan kami, tanpa terjebak dalam lingkaran utang yang sulit diprediksi.
Meskipun saya awalnya merasa tergoda dengan penawaran tersebut, pandangan dan kekhawatiran yang jelas dari pacar saya membuat saya berpikir ulang.
Saya menyadari bahwa keputusan keuangan kami harus didasarkan pada kesepakatan dan pemikiran bersama.
Pasangan saya ada benarnya, masalah keuangan dalam pernikahan memiliki dampak yang signifikan terhadap keutuhan hubungan. Data dari Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung mencatat bahwa sekitar 24% pasangan yang bercerai mengalami masalah keuangan sebagai penyebab utama perpisahan.
Fakta ini menyoroti pentingnya transparansi, komunikasi, dan perencanaan keuangan yang baik dalam sebuah hubungan.