Suatu malam yang sunyi, ketika saya duduk santai di sebuah kafe dengan niatan untuk menikmati buku Animal Farm karya George Orwell, tiba-tiba seorang teman lama mendekati saya.
Dengan hati-hati, dia meletakkan sebungkus rokok di meja saya.
Saya menolak tawarannya karena sudah dua tahun saya istirahat merokok. Dahulu, saya adalah seorang perokok berat. Saya mulai berkenalan dengan rokok sejak kelas dua Sekolah Dasar.
Dengan rasa ingin tahu yang tak terbendung, teman lama itu akhirnya bertanya mengapa saya memutuskan untuk berhenti merokok. Tanpa ragu, saya menjawab bahwa dengan berhenti merokok, saya berhasil menghemat sejumlah uang yang cukup besar.
Namun, tanggapannya pun tak kalah menohok.
"Tapi apakah uangnya ada sekarang?" sergahnya dengan nada sinis.
Tanpa terpengaruh, saya pun memberikan respons tajam, "Mungkin tidak ada sekarang, tapi setidaknya saya tak perlu berutang ketika ingin makan." Ekspresi di wajahnya langsung berubah, tersadar akan sindiran yang menohok.
Dua tahun telah berlalu sejak saya memutuskan untuk melupakan asap-asap yang memabukkan itu. Kegagalan dalam bisnis memaksa saya untuk menghadapi realitas keuangan yang pahit.
Saat saya menggali lebih dalam kemana uang saya berhembus, selama setahun sebelumnya, ternyata saya telah menghabiskan sekitar 20 juta rupiah hanya untuk membeli rokok---sejumlah uang yang setara dengan biaya sewa sebuah rumah di kota Yogyakarta.
Hal ini membuktikan bahwa benar, Indonesia, negara dengan konsumsi rokok terbesar ketiga di dunia (29 persen), sehingga menghadapi masalah serius terkait kesehatan masyarakat.