Lihat ke Halaman Asli

Mahéng

TERVERIFIKASI

Travel Writer

Krisis Multikulturalisme: Transformasi Pendidikan dan Pengakaran Ideologi Pancasila

Diperbarui: 4 Juni 2023   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (KOMPAS/JITET)

Permulaan tahun 2020, sebuah SD Negeri di Yogyakarta menjadi sorotan setelah viralnya yel-yel ‘tepuk anak saleh’. Yel-yel kontroversial ini diajarkan oleh seorang pembina Pramuka kepada anak-anak di SD tersebut.

Kasus ini terjadi dalam rangka acara Kursus Mahir Lanjutan (KML) Pramuka yang digelar oleh Kwartir Cabang Kota Yogyakarta, di mana anak-anak peserta Pramuka diperkenalkan dengan yel-yel yang mencetuskan intoleransi: "Islam, Islam, yes! Kafir, kafir, no!"

Tidak hanya terbatas pada lingkungan Pramuka, ternyata yel-yel 'anti-kafir' ini menyentuh berbagai aspek kehidupan sehari-hari.

Bahkan, saya masih teringat betapa terkejutnya ketika saya pulang dari kampus saat masih jadi mahasiswa, saya mendengar secara langsung suara yel-yel tersebut berasal dari sebuah rumah ibadah yang ternyata juga digunakan sebagai tempat pendidikan agama.

Dosen saya saat itu seringkali menyinggung masalah ini di kelas-kelasnya, dengan pesan yang tegas agar yel-yel "Islam, Islam, yes! Kafir, kafir, no!" tidak lagi terdengar.

Dalam buku Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun untuk Pembudayaan Edisi Komprehensif, Yudi Latif menyampaikan pandangannya yang sejalan dengan situasi pendidikan saat ini.

Dunia pendidikan merupakan jendela keterbukaan yang memungkinkan pergaulan lintas budaya dan pertukaran pemikiran. Namun, sayangnya, kita saat ini menghadapi gejala pengerdilan dalam sistem pendidikan.

Salah satu faktornya adalah melemahnya minat baca dan kehilangan kecakapan dalam memperoleh pengetahuan, yang akhirnya mempersempit pemahaman dan mengaburkan sikap empati terhadap perbedaan.

Menurut Yudi Latif, pembangunan mental dan karakter bangsa ini berawal dari asumsi bahwa perubahan mentalitas (pola pikir, mindset) akan menghasilkan perubahan perilaku. Perilaku yang terus diulang akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan yang terus dipertahankan akan membentuk karakter. 

Selanjutnya, Yudi Latif mengungkapkan bahwa moralitas tidak diajarkan (taught), tetapi ditangkap (caught) melalui pengamatan. Kehidupan di dalam kelas dengan praktik 'tepuk anak saleh' dapat membentuk karakter siswa yang intoleran, karena siswa menangkap sikap intoleran dari perilaku guru mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline