Lihat ke Halaman Asli

Mahéng

TERVERIFIKASI

Author

Melihat ke Belakang, Merenung ke Depan: Refleksi Hari Lahir Pancasila, Relevansi, dan Tantangannya di Masa Mendatang

Diperbarui: 1 Juni 2023   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BPUPKI mengadakan sidang. Foto: Wikimedia Commons/Arsip Nasional Republik Indonesia

Pada April 1945, ketika perang dunia II hampir sampai dipenghujung, dunia sedang menyaksikan puing-puing Tokyo setelah diterjang oleh serangan Sekutu pada tanggal 10 Maret.

Di Eropa, kekuatan fasis  sudah porak-poranda. Italia menyerah pada tanggal 9 April. Pada tanggal 30 April, Adolf Hitler mengakhiri hidupnya bersama dengan Eva Braun, wanita yang baru saja ia nikahi sehari sebelumnya.

Tepat pada hari pernikahan Hitler dan saat Kaisar Hirohito merayakan ulang tahunnya yang ke-44, pemerintah Jepang di Indonesia membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi Cosakai

Badan tersebut dipimpin oleh KRT Dr. Radjiman Wedyodiningrat.

Enam puluh tujuh anggota BPUPKI baru bersidang sebulan setelah badan itu dibentuk. Upacara   pembukaan dilaksanakan pada Senin 28 Mei 1945, di gedung Tyuuoo Sangi-in, Pejambon, Jakarta.  Sekarang  tempat tersebut masuk kompleks Kementerian Luar Negeri.

Mereka yang berasal dari berbagai golongan itu bahu-membahu membentuk fondasi bagi negara yang akan dibentuk (Arif Zulkifli, dkk, 2013, p. 17).

Pada hari Selasa, 29 Mei 1945, BPUPKI mengadakan sidang pertama untuk membahas dasar negara. Sidang dimulai dengan doa. Pada awal persidangan, KRT Dr. Radjiman Wedyodiningrat mengajukan pertanyaan kepada sidang mengenai apa yang akan menjadi dasar negara Indonesia Merdeka?

Kemudian Mohammad Yamin diberikan kesempatan untuk berbicara.

Dalam pidatonya, Mohammad Yamin menyusun 5 prinsip dasar negara, yaitu Cinta Tanah Air, Menghormati Kemanusiaan, Mengakui Ketuhanan, Memprioritaskan Kepentingan Rakyat, dan Menciptakan Kesejahteraan. Ia menekankan bahwa negara Indonesia tidak boleh meniru negara lain atau menjadi salinan tanpa jiwa dari bangsa lain (Aning, 2019, p. 14).

Menurut Yamin, Indonesia boleh  mengambil inspirasi dari negara lain seperti melihat diri sendiri dalam cermin. Namun, Indonesia tidak boleh hanya menjadi bayangan dalam cermin, melainkan harus menjadi negara nyata di dunia nyata yang didasarkan pada rasionalisme dan kebijaksanaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline