Saya tidak terlalu gusar ketika mendengar cerita berbagai toko buku tutup, termasuk Gunung Agung yang mengumumkan akan berhenti beroperasi akhir tahun ini. Saya tidak bergeming.
Ada cerita lebih tragis. Johannes Gutenberg, sang penemu mesin cetak, terperosok dalam kebangkrutan setelah dihadapkan pada tuntutan oleh investornya, Fust. Ia bahkan tutup usia dalam keadaan memprihatinkan.
Namun itu belum seberapa, saya tidak sengaja menemukan sebuah artikel bertajuk Indonesian Kids Don't Know How Stupid They Are tulisan Elizabeth Pisani. Tulisan ini diterbitkan pada 5 Desember 2013 di situs Indonesiaetc.com yang dikelolanya. Pisani memaparkan hasil survei dari Programmme for International Student Assessment (PISA) di bawah Organization Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2012.
Pisani mengungkapkan bahwa 75 persen siswa berusia 15 tahun di Indonesia berada di bawah tingkat kompetensi minimum dalam pemahaman membaca sederhana dan penerapan konsep matematika dasar. Selama sepuluh hingga lima belas tahun terakhir, skor PISA tidak mengalami peningkatan yang signifikan.
Dari situ, banyak pandangan yang menyoroti fakta bahwa budaya membaca buku belum sepenuhnya menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Dampaknya bahkan terasa di tingkat pendidikan tinggi.
Saya masih ingat dengan jelas suatu kejadian ketika saya masih menjadi mahasiswa di bawah bimbingan Prof. Al-Makin, yang sekarang menjabat sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga. Pada suatu hari, kelas dibatalkan karena mayoritas mahasiswa tidak membaca buku.
Banyak mahasiswa yang saat melakukan presentasi hanya membaca teks yang tertera di slide presentasi. Meskipun saya merasa kesal, pada akhirnya saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Pisani. Memang benar bahwa 75 persen lulusan sekolah menengah bahkan tidak mampu mengidentifikasi kalimat inti dalam sebuah paragraf.
Kedekatan masyarakat suatu bangsa terhadap buku berbanding lurus dengan kemajuan masyarakat tersebut.
Adagium di atas menggambarkan mengapa kita tertinggal jauh karena belum menjadikan membaca sebagai budaya.
Saya selalu diingatkan bahwa membaca adalah perintah agama. Seperti yang diulang-ulang oleh Kang Maman dalam bukunya Aku Menulis Maka Aku Ada, BIR (Baca, Iqra, Read) merupakan kunci penting dalam membentuk keberadaan kita.