Jika masyarakat suku Betawi memiliki pantun melayu, maka masyarakat suku Sunda pun memiliki pantunnya sendiri yang dikenal dengan sebutan pantun sunda. Sesuai namanya, pantun ini menggunakan bahasa Sunda sebagai isiannya, dan menjadi kekayaan tradisi lisan masyarakat Jawa Barat.
Walaupun memiliki pengambilan unsur nama yang sama, tetapi sebenarnya terdapat perbedaan antara pantun melayu dengan pantun sunda. Di mana pagelaran pantun sunda ini berbentuk tuturan atau penceritaan bersyair yang diiringi musik kecapi indung, sebuah kolaborasi antara lagu, percakapan, dan syair cerita (umumnya bertema kerohanian). Kebanyakan kisah yang dituturkan berasal dari masa kerajaan Hindu Pejajaran sebelum beralih ke Islam pada akhir abad ke-16.
Pantun sunda ini erat kaitannya dengan ritual atau tradisi, salah satunya adalah tradisi pemuliaan padi. Dalam tradisi pemuliaan padi ini, sang juru pantun diwajibkan untuk tidak hanya kompeten dalam bidang penyajian cerita pantun, tetapi juga harus mumpuni dalam hal spiritual.
Dalam penyelenggaraannya, tradisi pemuliaan padi ini juga harus dilengkapi dengan sesajian (sesajen) lengkap dengan kemenyan bakar. Sesajen ini merupakan simbolik dunia atas dengan dunia bawah secara sakral. Keberadaan sesajen ini dianggap mutlak. Jadi, apabila sesajen tidak diikut sertakan, maka tradisi ini tidak bisa dilangsungkan.
Selain itu, pembacaan pantun selalu dimulai dan diakhiri dengan pengucapan matra. Pembacaan pantun biasanya diawali dengan pengucapan dan nyanyian rajah untuk memohon dan berdoa demi kelancaran pelaksanaan tradisi.
Penggunaan pantun sunda bukan hanya pada tradisi pemuliaan padi saja, tetapi biasa digunakan dalam upacara ngaruwat, perkawinan, sampai dengan khitanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H