Lihat ke Halaman Asli

Demagog

Diperbarui: 27 Juli 2024   06:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berdemokrasi perlu nalar! Indonesia dihadapkan dengan masalah sistemik, yaitu tingkat pendidikan masyarakatnya yang rendah, disarikan dari data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia mencapai 8,77 tahun pada 2023. Lalu apakah implikasi dari tingkat pendidikan yang rendah terhadap kehidupan berdemokrasi?

Untuk menjadikannya jawaban yang utuh maka perlulah kiranya diuraikan terlebih dahulu kerangka pikirnya. Mulanya dapat dijelaskan bahwa tingkat pendidikan yang rendah mengimplikasikan suatu penyakit sosial yaitu kebodohan. Dalam KBBI kebodohan ditafsirkan sebagai sifat-sifat bodoh, tidak memiliki pengetahuan dan kekeliruan atau kesalahan. Dalam pandangan lain kebodohan merupakan suatu keadaan manusia tidak bisa menggunakan nalarnya untuk menyaring informasi dan menentukan benar atau salah. 

Sejenak kembali ke dasar, bahwa demokrasi dikatakan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka dengan definisi sedemikian rupa rakyatlah yang menjadi pondasi dasar demokrasi, sebagaimana pondasi maka haruslah Ia kokoh dan tahan terhadap berbagai guncangan. Untuk membuatnya kokoh dibutuhkan nalar sebagai perekatnya. Dalam upaya membangun demokrasi yang berkualitas maka nalar masyarakat juga harus tajam. 

Dalam negara demokrasi sering ditemui fenomena “Demagog”, istilah ini dapat diartikan secara sederhana sebagai provokator dalam konotasi negatif, dalam perkembangannya politikus yang suka mengumbar janji manis namun, setelah terpilih mereka malah ingkar, orang-orang seperti ini disebut demagog. Kebohongan dan tipu muslihat yang terstruktur merupakan cara mereka memenangkan hati publik. 

Kembali menyoal pendidikan Indonesia yang rendah, fenomena ini mempermudah demagog untuk mempengaruhi publik dengan lontaran kebohongan dan tipu muslihatnya. Masyarakat yang tidak terdidik akan sukar membedakan informasi yang benar dan salah karena tidak mempunyai filtrasi untuk hal itu. Dalam berbagai forum publik yang ditayangkan di siaran tv sampai media sosial dewasa ini, demagog  ambil peran di sana untuk mendoktrinisasi publik akan kepentingannya dan kelompoknya yang ujung-ujungnya selalu menguntungkan pihaknya bukan rakyat. 

Ingatlah, prioritas para demagog adalah kekuasaan, Ia tidak segan mencekoki masyarakat dengan kebohongan, sebab semakin bodoh masyarakat semakin berkuasalah Ia. Dalam demokrasi tidak ada ruang untuk kekuasaan absolut, ruang tersebut hanya tersedia dalam sistem monarki. Jika pemerintah abai terhadap kualitas pendidikan rakyatnya dan membiarkan rakyatnya selamanya menjadi bodoh maka layaklah Ia disebut demagog. Moralitas melampaui hukum yang berlaku, jika nilai moralitas digoyahkan dengan perubahan berbagai peraturan dan isinya tidak sesuai kepentingan rakyat namun, menguntungkan mereka yang berkuasa maka sudah bahayalah negara ini dikuasai demagog. Rakyat harus mulai bernalar demi mewujudkan demokrasi yang berkualitas dan secara terbuka bisa menuntut hak-haknya demi kehidupan kelak yang lebih layak dan merdeka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline