Selain korupsi, pandangan tentang banyak anak banyak rejeki nampaknya masih menjadi warisan budaya tak benda dalam masyarakat Indonesia. Surflus demografi, kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk sejak post-orde lama hingga awal reformasi menjadi cerminan yang cukup menampar. Selama bertahun-tahun negri ini selalu memperoleh "juara harapan" untuk urusan jumlah penduduk. Hal ini sejalan dengan salah satu indikator negara berkembang. Tepat sekali, pembaca baru saja melihat dua kata memprihatinkan "negara berkembang".
Pada awal tahun 2024, laporan dari Badan Pusat Statistik menunjukan penurunan angka pernikahan menyentuh rekor terendah sejak sepuluh tahun terakhir. Bak AC di ketinggian Burj Khalifa, data ini memberikan angin segar bagi kelompok minoritas yang bermimpi untuk menetap di negara maju. Kampanye untuk tidak menikah sebelum "siap" turut mewarnai suasana. Namun, diantara 281 Juta penduduk RI, masih terdapat oknum yang menyayangkan hal ini ditambah tetap meyakini bahwa banyak anak-banyak rejeki. Berbagai perdebatan dalam platform-platform media sosial pun tak dapat dihindarkan. Menariknya jika dikaji secara historis, pandangan tentang banyak anak banyak rejeki merupakan ide usang yang lahir pada era kolonial.
Semua bermula saat De Java Oorlog (Perang Jawa) pecah pada tahun 1925. Perlawanan yang dipimpin Pangeran Diponegoro itu baru bisa dipadamkan setelah berjalan tak kurang dari 5 tahun. Hasilnya, ribuan korban jiwa berjatuhan serta pemerintah kolonial Belanda mengalami banyak kerugian. Arif Wibowo sebagaimana dikutip dalam Darmawan (2018: 10) menyebutkan bahwa korban perang Jawa dari golongan Eropa berjumlah 8000 jiwa, golongan pribumi di pihak belanda sebanyak 7000 jiwa, serta orang Jawa yang meninggal sebanyak 200.000 jiwa. Sementara itu M.C Ricklefs (dalam, Izzah. 2017: 471) melaporkan bahwa pemerintah kolonial menanggung hutang sebesar 32.000.000.
Kondisi tersebut pada gilirannya membuat pemerintah kolonial Belanda menjadi keteteran. Semakin hari jumlah hutang kian mengalami pembengkakan. hal itu diperburuk oleh lepasnya daerah industri strategis Belgia yang memutuskan untuk merdeka pada akhir periode 1830an. Kemudian dalam rangka merehabilitasi keuangan pemerintah kolonial sekaligus membatu mengisi kas Belanda di Eropa sana, Gubernur Jendral Van Den Bosc memperkenalkan kebijakan Cultuurstelsel untuk wilayah Hindia Belanda terlebih Jawa pada tahun 1930.
Jika diterjemahkan, Cultuurstelsel berarti pembudidayaan tanaman. Demikian pula saat awal diperkenalkan, Cultuurstelsel diartikan sebagai upaya menanam tanaman-tanaman luar yang laku dipasaran Eropa seperti kopi dan tebu. Namun, dalam praktiknya kebijakan ini ternyata tak seindah yang dibayangkan. (Izzah. 2017: 472) menjelaskan bahwa Cultuurstelsel tak lebih dari sistem monopoli VOC yang disempurnakan. Pemerintah memaksa rakyat untuk menanam tanaman ekspor dengan memanfaatkan penguasa pribumi. Cara yang ditempuh adalah rakyat dipaksa menanam tanaman ekspor sebagai pengganti pajak. Pelaksananya berada di bawah pimpinan dan pengawasan pejabat eropa setingkat residen, akan tetapi tetap menggunakan kekuasaan penguasa pribumi setingkat Regent (bupati).
Dalam Stanblad (Lembaran Negara) No. 22 tahun 1834 termuat beberapa ketentuan mengenai Cultuurstelsel:
- Persetujuan-persetujuan akan dlakukan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian tanah milik mereka untuk penanaman tanaman dagangan yang laku dipasar Eropa.
- Bagian tanah pertanian yang disediakan penduduk terkait kepentingan Cultuurstelsel tidak boleh lebih dari seperlima tanah pertanian yang dimiliki penduduk Desa.
- Pekerjaan yang dilakukan untuk menanam tanaman ekspor tak boleh melebihi waktu untuk menanam tanaman padi
- Bagian tanah yang disediakan untuk Cultuurstelsel dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
- Tanaman ekspor yang dihasilkan ditanah-tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda, jika nilai hasil-hasil tanaman mampu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
- Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sekurang-kurangnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh rendahnya ketekunan dari rakyat.
- Penduduk Desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala-kepala pribumi, sementara pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat waktu.
Sayangnya, kenyataan tak selalu sesuai dengan apa yang ditulis diatas kertas. Dalam perkembanvannya penduduk diminta untuk menyerahkan hampir atau seluruh tanah milik mereka; pengerjaan tanaman ekspor dilakukan dalam waktu penuh bahkan berlebihan; penduduk terkadang harus tetap membayarkan beberapa jenis pajak; kelebihan panen hanya dinikmati oleh penguasa pribumi dan bukan oleh seluruh rakyat; serta panen tanaman yang gagal ditanggung oleh penduduk dan bukan pemerintah kolonial.
Dalam buku Max Havelaar yang terbit pada 1860 dijelaskan pula bahwa para penduduk selain harus mengerjakan tanah mereka secara overtime juga terkadang masih dipaksa untuk mengerjakan tanah milik Regent. Selain itu, ketika terjadi surflus panen maka Regent akan diberikan hadiah. Hal ini kemudian berdampak pada kebijakan Regent serta perlakuan kepada rakyatnya yang cenderung memaksa penduduk untuk bekerja semakin keras. Dalam kondisi seperti itu, dapat dipahami jika alternatif solusi yang dapat dilakukan penduduk untuk meringankan beban adalah dengan menambah jumlah anggota keluarga. Semakin banyak anggota keluarga maka semakin bertambah ringan beban kerja antar anggotanya. Jalan yang ditempuh untuk menambah anggota keluarga tentu saja dengan menambah jumlah keturunan yang nantinya ikut serta dipekerjakan. Dalam konteks ini, banyak anak banyak rejeki kemudian menjadi relevan.
Ben White dalam (Izzah. 2017: 474-475) mengemukakan bahwa tuntutan kerja era Cultuurstelsel meningkatkan pertumbuhan penduduk. White menganggap pertumbuhan penduduk Jawa sebagai reaksi penduduk untuk menjawab tuntutan kerja wajib pemerintah kolonial. Disatu sisi satuan hidup penduduk petani adalah keluarga, sedang disisi yang lain keluarga juga merupakan satuan dasar dari prilaku kependudukan petani. Oleh sebab itu, satuan produksi dan reproduksi saat itu adalah sama. Dalam hal ini dorongan untuk memiliki banyak anak sangat besar mengingat keluarga merupakan sumber tenaga kerja untuk memenuhi tuntutan kerja wajib Culuurstelsel. Dapat dipahami bahwa jumlah keluarga dan anak yang banyak dirancang untuk menjawab kelebihan beban kerja Culuurstelsel saat itu. Kondisi yang berbeda dengan yang kita alami dewasa ini. Sayangnya, banyak anak banyak rejeki telah meresap sebagai sihir dogmatis yang masih membelenggu pemikiran masyarakat hingga hari ini. [T]
Ref:
Darmawan, W dan Winarti. Perjuangan Pangeran Diponegoro. (Makalah) diseminarkan dalam Seminar Nasional "Merawat Memori Kolektif, Memperkuat Integrasi Bangsa" yang diselenggarakan oleh Departemen Sejarah FIB Universitas Diponegoro, Semarang 18 November 2018