24 Desember, Akhir bulan sekaligus tahun ini untuk kedua kalinya saya menghabiskan Max Havelaar, sebuah karya fenomenal dari Edward Douwes Dekker dengan nama pena Multatuli. "Aku Telah Menderita Cukup Lama" begitulah makna yang tersirat dari nama pena Dekker yang ditulis dalam Bahasa Latin itu. Dirinya merupakan mantan Asisten Residen di Lebak, Banten pada pertengahan periode 1800an.
Sebagai seorang Belanda, Dekker terusik nuraninya ketika mendapati rakyat di tanah jajahan mengalami kemiskinan, penindasan, dan perbudakan oleh tangan-tangan kotor "saudara" mereka, serta bobroknya sistem yang diberlakukan pemerintah kolonial yang memperburuk keadaan.
Atas berbagai ketimpangan dan pemandangan memprihatinkan yang acap kali ditemukannya, Dekker kemudian menerbitkan karya luar biasa sepeninggal dari Hindia Belanda setelah mengabdi untuk kepulauan di Selatan Cina itu selama 18 tahun. Tulisan yang terbit pada tahun 1860 itu kelak menyebabkan pemerintah kolonial menerapkan politik balas budi sekaligus mengubah arus sejarah sebuah masyarakat dan entitas kebudayaan di sebuah negeri yang terpengaruh oleh peradaban India, menuju apa yang dikenal dengan pembelajaran, sebuah pemberontakan pembebas pikiran.
Max Havelaar, buku ini dimulai dengan celotehan dari seorang tokoh bernama Droogstoppel, yang mendapati pria berselendang, salah seorang teman kecilnya baru saja kembali dari negeri Hindia dengan kesan kotor dan tidak terhormat. Meski ditulis dalam historiografi Nerlandosentris dengan sedikit kejutan dan tekanan mental di awal, kisah tragis humanis ini pada gilirannya memberikan kesan lucu yang sesekali membuat kita berpikir bahwa puncak komedi adalah realita. Saya sendiri kesulitan membaca buku ini dan baru menemukan arahnya setelah menyentuh bab 7.
Secara umum, Max Havelaar menceritakan kondisi sosial masyarakat Hindia Belanda yang berada dalam belenggu feodalisme namun dengan kolonialisme di atasnya. Buku ini menyorot bagaimana Regen bergelar Adipati yang diangkat oleh pemerintah kolonial sebagai ambtenar melakukan berbagai penyelewengan terhadap bangsanya sendiri demi memperkaya diri. Sebagai gambaran, seorang Regen merupakan penguasa lokal yang oleh pemerintah kolonial diangkat dan digaji layaknya PNS. Regen dalam menjalankan tugasnya juga ditemani oleh seorang Asisten Residen sebagai pejabat perwakilan pemerintah kolonial yang secara teori bertindak sebagai seorang kakak yang bertugas mengawasi Adipati. Ya, secara teori, faktanya tidak demikian.
Dalam menjalankan tugasnya, sering kali seorang Regen berlaku semena-mena terhadap rakyatnya. sebagai pengantar, ketika orang putih datang dan memaksa petani pribumi menggunakan sebagian tanah dan tenaganya untuk menanam jenis-jenis tanaman yang akan mendatangkan keuntungan besar di Eropa, pemerintahan putih hanya perlu menjalakan kebijakan sederhana, bahwa masyarakat sangat patuh terhadap pemimpin lokalnya sehingga menunggangi para pemimpin itu dengan janji penghasilan menyebabkan skema yang diinginkan berhasil sepenuhnya. Masyarakat pribumi menanam tanaman yang diinginkan kemudian menyetorkannya kepada Adipati yang pada gilirannya memberikan hasil-hasil itu kepada pemerintah kolonial.
Semua itu terkesan tidak terlalu buruk sampai para pembaca tahu bahwa harga ditetapkan bukan oleh masyarakat melainkan pemerintah kolonial; bahwa terdapat hukuman bagi mereka yang menjual hasil pertaniannya kepada pihak selain pemerintah kolonial; bahwa ketika terjadi surplus panen, seorang Regen akan mendapatkan bonus tambahan tetapi hal ini justru menyebabkan mereka memerintahkan masyarakat untuk menggunakan seluruh tanah dan tenaganya untuk menanam tanaman yang diinginkan; dan yang lebih buruk masyarakat harus mengelola tanah milik Regen ketika Asisten Residen sedang tidak di tempat.
Dua poin terakhir membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Pertama para Regen memanfaatkan ketidaktahuan rakyatnya mengenai dirinya yang kini digaji pemerintah telah menjual haknya dan hak rakyat kepada pemerintah putih. Regen yang tetap memiliki legitimasi kekuasaan dimata masyarakat pribumi akan mendorong kelebihan panen dengan memerintahkan rakyatnya memberikan tanah, waktu dan tenaga ekstra, yang hal ini jelas untuk memperkaya dirinya. Namun, ketika seseorang bertanya apakah masyarakat mendapatkan upah yang sepadan dengan apa yang telah mereka kerjakan, jawabannya selalu dalam konotasi negatif.
Kedua ketika pengawas atau Asisten Residen pergi ke luar kota, maka Regen akan meminta masyarakat untuk turut mengerjakan tanah milik keluarga Adipati, tanpa upah yang memadai tentunya. Hal ini berarti masyarakat Jawa mendapati penjajahan dua lapis yang di samping oleh pemerintah putih juga dari penguasa lokal mereka. dan ketika ini semua terjadi, pemerintah kolonial tidak melakukan upaya penanganan yang berarti. Asisten Residen yang bertindak sebagai kakak pengawas pun sering kali kesulitan menjalankan fungsi-fungsinya. Selain itu, pemerintah kolonial semakin melanggengkan penjajahan berlapis ini melalui optimisme palsu dalam pelaporan-pelaporan yang selalu menunjukkan bahwa segalanya berjalan seperti biasa dan di negeri jajahan tidak terjadi apa-apa.
Untuk semakin menyia-nyiakan waktu para pembaca, ijinkan saya merekomendasikan buku ini kepada mereka elit-elit penguasa, kepada tuan-tuan dalam pemerintahan bersama jajarannya, serta sehubung dengan tahun politik: kepada mereka calon-calon pemegang kekuasaan.
Kembali lagi pembaca, meski saya telah menghabiskan Max Havelaar sebanyak dua kali dan telah membaca 20 bab dalam tulisan tersebut sebanyak dua kali pula, salah satu hal menarik yang saya soroti justru berada di bab 5. Pengalaman saya saat membaca bab 5 untuk pertama kalinya hampir setahun yang lalu kemudian melatar belakangi tulisan sedikit rusak ini. Ketika itu saya sedang membaca sembari minum kopi di tengah keheningan malam bersama seorang teman asal Jawa Timur, sebut saja Mas Lugas. Malam itu, pemilik kedai kopi bernama Mas Adi yang juga berasal dari Jawa Timur turut menemani kami.