PERAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DALAM PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM (ABH)"
"Kepentingan Terbaik Bagi Anak Patut Dihayati Sebagai Kepentingan Terbaik Bagi Kelangsungan Hidup Umat Manusia. Ini Merupakan Konsekuensi Dari Ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945"
Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum bukan hanya masalah nasional di Negara Indonesia saja, melainkan sudah menjadi masalah internasional, seperti yang kita ketahui dengan disepakatinya Konvensi tentang Hak-Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989 membuktikan bahwa penanganan anak yang berkonflik dengan hukum masih menjadi tantangan tersendiri bagi setiap negara.
Berdasarkan penelitian mengenai penanganan anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia, dapat disimpulkan, bahwa Indonesia merupakan satu negara yang menyetujui dan meratifikasi Konvensi tentang Hak-Hak Anak sebagaimana diwujudkan dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights of Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak), seperti Hak Untuk Mendapat Perlindungan dan Hak Untuk Mendapat Pendidikan Yang Layak (Anastasia Anjani, 2021).
Selama ini, Indonesia mencoba konsisten dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum, diwujudkan dengan dilakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Selain itu juga dapat dibuktikan dengan diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dengan Adanya UU. No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang berfokus pada Keadilan Restoratif dan Diversi yang menekankan pada 'pemulihan' ketimbang 'pembalasan' seperti penerapan pada hukum pidana orang dewasa.
Pembuatan Undang-undang ini diharapkan dapat mengubah stigma masyarakat yang memandang anak sebagai 'kriminal'. Segala upaya tersebut diharapkan mampu membuat masyarakat sadar bahwa anak masih dalam masa pengembangan diri dan karenanya mereka pun belum dapat mempertanggungjawabkan perilakunya secara penuh, Selain itu pengajaran dari orang tua dan lingkungan sekitar memiliki peran besar dalam pembentukan perilaku anak tersebut.
Balai Pemasyarakatan (Bapas) adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan kemasyarakatan sesuai Undang-undang No. 22 Tahun 2022 yang dalam hal ini berbeda dengan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau Rumah Tahanan Negara (Rutan). Lapas dan Rutan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik Pemasyarakatan.
Tujuan sistem pemasyarakatan adalah menyiapkan warga binaan pemasyarakatan, yang salah satunya disebut Klien pemasyarakatan, agar dapat berintegrasi dan berperan kembali dalam keluarga dan lingkungan masyarakat luas secara sehat dan bertanggung jawab melalui Profesi Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Pada Balai Pemasyarakatan yang merupakan ujung tombak pemasyarakatan dalam pelaksanaan Sistem Tata Peradilan Pidana Terpadu (STPT), (Santoso, 2017).
Dengan dasar undang-undang yang telah disebutkan di atas, maka seorang PK Bapas melaksanakan pendampingan ditiap tingkatan (kepolisian,kejaksaan dan pengadilan).
Dimana dalam tiga proses tersebut seorang PK seyogyanya selalu mengedepankan nilai kemanusiaan dan demokrasi, dimana Anak Berkonflik Dengan Hukum (ABH) sejatinya tetap merupakan korban dari berbagai faktor dilingkungannya sehingga membuat anak-anak salah memilih keputusan dengan melakukan tindak pidana.
Maka dari itu Pembimbing Kemasyarakatan (PK) hadir untuk mendampingi anak dan turut andil dalam menyadarkan anak untuk kembali ke jalan yang benar dan menyesali perbuatanya yang telah diperbuat, tidak hanya itu PK juga mempunyai peran aktif dalam terlaksananya Diversi sebagai salah satu alternatif penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak agar terwujudnya keadilan restoratif.