Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa proses pendidikan akan sukses apabila ada sinergi antara keluarga, sekolah dan masyarakat yang kemudian dikenal dengan Tri Pusat Pendidikan. Keluarga adalah tempat pertama dan utama bagi seorang anak. Anak pertama kali dididik di keluarga dan waktu terbanyak anak adalah bersama keluarga.
Sekolah adalah tempat pendidikan formal anak dimana anak menuntut ilmu dan memperoleh bukti sudah menuntut ilmu melalui selembar ijazah yang legal. Masyarakat merupakan tempat anak hidup untuk belajar dan menerapkan ilmu yang sudah didapat di keluarga dan sekolah.
Pendidikan karakter yang belakangan ini suaranya sering kita dengar dalam setiap diskusi ilmiah dan kalimatnya selalu kita baca dalam setiap tulisan bertema pendidikan nampaknya masih belum berjalan optimal. Berdasarkan pengalaman penulis sebagai seorang pendidik, salah satu penyebabnya adalah karena belum adanya sinergitas yang optimal di kalangan Tri Pusat Pendidikan. Contoh kecil yang pernah penulis lihat adalah mengenai karakter peduli lingkungan.
Pihak sekolah sudah mendidik siswa untuk membuang sampah selain pada tempatnya namun juga selayaknya sesuai dengan jenisnya. Namun ketika siswa pulang sekolah, mereka menyaksikan pemandangan banyak oknum masyarakat yang tidak bertanggung jawab membuang sampah secara sembarangan tanpa mendapat sanksi yang tegas.
Kemudian ketika berada di rumah, fasilitas yang ada hanya sebuah tong sampah dimana berbagai macam sampah dibuang tanpa dipilah. Jika kita merenungi Teori Belajar Sosial Albert Bandura yang menyatakan bahwa seorang individu dia belajar dari tingkah laku orang yang ada di sekitarnya atau apa yang dilihat dari lingkungannya maka otomatis siswa bingung harus berbuat seperti apa ketika akan membuang sampah.
Bukan tidak mungkin siswa akan memutuskan tindakan yang paling gampang yaitu membuang sampah secara sembarangan apalagi jika di sekitarnya tidak terdapat tong sampah. Ini baru satu contoh dari satu karakter. Masih banyak contoh lain yang penulis perhatikan sebagai bukti bahwa belum terjadi sinergitas yang optimal antara Tri Pusat Pendidikan baik itu keluarga, sekolah dan masyarakat.
Oleh karena itu besar harapan penulis sebagai pendidik agar pendidikan karakter bisa berjalan optimal dengan sinergi antara Tri Pusat Pendidikan. Misalnya pihak keluarga dalam hal ini orang tua agar menjalin komunikasi yang baik dengan guru dan kepala sekolah tentang apa yang sudah dipelajari oleh siswa agar didukung, dilanjutkan atau diberi penguatan oleh orang tua di rumah.
Orang tua juga tidak boleh beranggapan bahwa seluruh proses pendidikan putra-putrinya diserahkan kepada pihak sekolah. Padahal anak berada di sekolah maksimal 8 jam atau 1/3 hari dan sisanya bersama keluarga. Selain itu pihak otoritas dan pihak berwenang di masyarakat juga hendaknya mampu menciptakan suasana lingkungan yang edukatif misalnya mencegah dan menangani kegiatan amoral dan menindak tegas pelakunya.
Jika itu dilakukan dengan konsisten maka tindakan amoral dan melawan hukum akan minim terjadi. Dengan demikian maka anak tidak akan melihat berbagai pemandangan yang merupakan representasi karakter buruk sehingga pendidikan karakter akan berjalan dengan baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Penulis adalah mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H