Lihat ke Halaman Asli

Edi Swastawan

Pelajar Agribisnis

Polemik Impor Beras Membingungkan, Respon Bali Malah Lebih Membingungkan

Diperbarui: 28 Maret 2021   16:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hamparan Sawah di Subak Sudemiu, Desa Pegadungan, Kecamatan Sukasada, Buleleng / dokpri

Kebijakan impor beras yang direncanakan terealisasi tahun 2021 tidak hanya memicu polemik di tingkat nasional. Setelah kebijakan tersebut memantik dinamika publik, Bali turut memberikan wacana penolakan melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali.

            Wacana penolakan Pemprov Bali sangat penting untuk diapresiasi. Namun jika ditelisik lebih dalam, bukannya menyelesaikan masalah, wacana itu malah memicu banyak pertanyaan. Sikap Pemprov Bali pun sebenarnya tidak lahir secara organik, namun dinyatakan setelah terjadi dinamika pendapat di kalangan masyarakat regional.

            Kapan dan siapa sebenarnya yang berpolemik di tingkat nasional? Dinamika apa yang terjadi di tingkat regional Bali? Bagaimana sikap penolakan Pemprov Bali? Dan kenapa sikap tersebut dianggap memicu kebingungan? Dalam tulisan ini, penulis berusaha mengulasnya satu per satu.

Diputuskan Sepihak, Ditolak Kawan, dan Diredam Presiden

            Kebingungan pertama lahir dari dinamika pemerintah pusat. Kebijakan impor beras pertama diwacanakan secara sepihak oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dengan alasan iron stock. Dalam kebijakan tersebut, terlihat jelas koordinasi antar kementerian dan lembaga terkait tidak berjalan sebagaimana mestinya.

            Pertama, dikutip dari Media Gatra[1], Kementerian Pertanian RI tegas menolak impor beras. Menurut Kementan, stok beras hingga Desember 2020 tercatat sebanyak 7,389 juta ton dan perkiraan produksi dalam negeri mencapai 17,5 juta ton, sedangkan perkiraan kebutuhan hanya 12,336 juta ton[2]. Sehingga cadangan beras Indonesia sebenarnya cukup, bahkan surplus.

            Kedua, Bulog malah pamer stok beras melimpah. Bahkan Perum Bulog masih memiliki stok beras impor dari pengadaan tahun 2018 lalu. Stok itu berasal dari pengadaan sebanyak 1.785.450 ton beras, masih tersisa 275.811 ton beras belum tersalurkan. Dari jumlah tersebut, 106.642 ton di antaranya merupakan beras turun mutu[3]. Dalam hal ini, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso telah melaporkannya ke presiden.

            Selanjutnya per tanggal 26 Maret 2021[4], Presiden Jokowi memastikan bahwa sampai bulan Juni 2021 tidak ada beras impor yang masuk ke Indonesia. Presiden menegaskan, bahwa berasnya belum masuk. Pernyataan presiden tersebut direspon baik oleh beberapa kalangan pro petani. Namun yang perlu digaris bawahi, tidak ada satu pun pernyataan presiden yang mampu memastikan tidak akan ada impor beras pada tahun 2021. Artinya, cepat atau lambat, besar kemungkinan beras impor tetap akan masuk ke Indonesia.

            Saat ini sebenarnya masyarakat semakin dirundung ketidakpastian. Ketika pemerintah tidak satu pendapat, kepada siapa masyarakat harus bertanya? Bagaikan pertengkaran dalam bahtera rumah tangga, yang sangat berpotensi menjadi hiburan para tetangga.

Desakan Tegas GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia)

            Secara regional, per tanggal 23 Maret 2021 DPC GMNI Denpasar menyatakan sikap tegas menolak impor beras sekaligus mendesak Gubernur Bali menolak beras impor masuk Bali[5]. GMNI berpendapat impor beras menjelang panen raya mencederai semangat juang petani dan bertentangan dengan Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Selain itu, data statistik menunjukan bahwa pasokan beras lokal di Bali sangat cukup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline