Lihat ke Halaman Asli

I Gede Sutarya

Penulis dan akademisi pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Galungan-Kuningan, Mitos dan Pembebasan

Diperbarui: 8 Juni 2022   08:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemuka agama Hindu memercikkan air suci saat persembahyangan Hari Raya Galungan di Pura Jagatnatha, Denpasar, Bali, Rabu (16/9/2020). Foto: Antara Foto/Fikri Yusuf via Kompas.com

Umat Hindu di Bali merayakan Galungan pada Rabu (8/6/2022) dan Kuningan pada Sabtu (18/6/2022). Hari raya Galungan dan Kuningan ini merupakan hari kemenangan dharma (kebajikan) melawan adharma (kejahatan). Perayaan hari kemenangan ini didasari mitologi Bali yang termuat dalam Lontar Usana Bali, yaitu kemenangan para dewa melawan Raja Bali yang jahat yaitu Mayadanawa. 

Raja raksasa ini diceritakan melarang masyarakat Bali untuk melakukan upacara kepada para dewa. Rakyat Bali cukup membayar pajak kepada Mayadanawa maka rakyat Bali akan aman dan sejahtera. Hal ini membuat para dewa menyerang Mayadanawa pada Wuku Dunggulan (Galungan). Kemenangan para dewa terhadap Mayadanawa ini dirayakan sebagai hari raya Galungan.

Mitologi Mayadanawa ini menjadi payung daripada tradisi upacara di Bali. Upacara kepada para dewa adalah penyelemat Bali. Siapa yang menentang upacara maka nasibnya akan menjadi seperti Mayadanawa. Upacara kemudian berkaitan dengan teks-teks upacara. 

Teks-teks upacara berkaitan dengan bahasa (Jawa Kuno), yang hanya dikuasai para brahmana dari Majapahit. Penguasaan bahasa dan pengetahuan ini kemudian menjadi kuasa di kalangan brahmana Majapahit. Raja-raja Bali harus mendukung kuasa teks-teks upacara ini, bahkan sampai pemerintahan modern (Indonesia) juga harus mendukung kuasa pengetahuan upacara ini.

Pada masa covid 19 (2020-2021), pemerintah daerah Bali melakukan berbagai upacara untuk melawan pandemi. Orang-orang Bali percaya hanya upacara yang tepat yang akan menghindarkan Bali dari wabah penyakit. Pasca Bom Bali I (2003), masyarakat Bali juga menggelar upacara  Karipubaya untuk menghindarkan Bali dari serangan luar. Upacara telah menjadi mitos untuk melindungi keselamatan masyarakat Bali.

Di tengah tradisi upacara, Bali sebenarnya mengenal tradisi yoga yang dilakukan secara individu. Tradisi yoga ini termuat dalam teks-teks Sanghyang Kamahayanikan, Vrespatitatva, dan teks-teks tatva lainnya. Secara tradisi, praktik yoga ini dilakukan secara pribadi-pribadi sehingga tak menjadi gerakan sosial, tetapi pada masa kini yoga menjadi gerakan massal. Guru-guru Hindu dari India seperti Svami Vivekananda dan Krishnamacharya dari Mysore menyebarkan yoga ke negara-negara barat. Gerakan-gerakan yoga ini kemudian memasuki Bali melalui pariwisata.

Pada awalnya, wisatawan ini berkelompok datang bersama gurunya untuk berlatih di Bali sekitar tahun 1980-an. Orang-orang lokal hanya penyedia tempat, makanan, dan berbagai keperluan lainnya bagi wisatawan. Perlahan, orang-orang lokal (Bali) ini menjadi bagian dari kelompok-kelompok ini. 

Mereka membangun villa, hotel, atau fasilitas lainnya untuk melakukan pertemuan rutin di Bali. Mereka juga menyebarkan ajaran yoga menjadi gerakan massal kepada masyarakat Bali. Vegetarian, puasa, asana, dan meditasi kemudian menjadi kata-kata yang tak asing bagi orang Bali.

Orang-orang Bali kemudian mulai menjadi pelatih-pelatih yoga sejak sekitar tahun 1990-an. Pada awalnya menjadi murid guru-guru barat, tetapi kemudian mulai mengembangkan kelokalan Bali dalam yoga. Guru Made Sumantra, I Ketut Arsana, dan Ida Pandita Ratu Bagus adalah contoh-contoh tokoh yang mengembangkan etnisitas Bali dalam yoga. Mereka juga melatih wisatawan asing pada berbagai tempat di Bali. Mereka juga mengembangkan pasraman (ashram) untuk berlatih yoga.

dokpri

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline