Lihat ke Halaman Asli

I Gede Sutarya

Penulis dan akademisi pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Menata Monumen Hidup Besakih sebagai Pariwisata Budaya

Diperbarui: 10 November 2021   07:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemprov Bali telah meletakkan batu pertama pembangunan berbagai fasilitas di Besakih, Bali. Salah satunya adalah tempat parkir bertingkat yang diprediksikan akan mengatasi masalah kemacetan di Besakih, Bali pada saat upacara keagamaan dan aktivitas wisata sehari-hari. Fasilitas-fasilitas lain juga akan dibangun untuk menata Besakih sebagai pusat keagamaan (Hindu) dan pariwisata. Bagaimanakah penataan ini dilihat dari pembangunan Besakih sebagai ikon dari pariwisata budaya?

Secara teori, pembangunan destinasi merupakan pembangunan empat elemen destinasi. Empat elemen tersebut adalah atraksi, akses, akomodasi dan pengelola destinasi tersebut. 

Pembangunan atrasi tersebut meliputi pelestarian budaya, konservasi alam, dan pembangunan atraksi buatan. Pembangunan akses meliputi pembangunan jalan dan alat transportasi menuju destinasi. Pembangunan akomodasi meliputi pembangunan penghinapan, restoran, fasilitas lainnya, dan tempat-tempat peristirahatan. Pembangunan pengelola meliputi pemberdayaan organisasi pengelola dan pendukung.

Pembangunan elemen-elemen destinasi tersebut merupakan pembangunan destinasi wisata di mana destinasi tersebut hanya menjadi tontonan. Menjadi tontonan artinya wisatawan hanya tinggal untuk mengagumi keindahan alam dan budaya, kemudian pergi. Tetapi perkembangan pariwisata belakangan ini, mengharuskan suatu destinasi memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar tontonan. Kelebihan itu yang akan menjadi penarik minat wisatawan untuk melakukan kunjungan kembali. Kelebihan itu dirumuskan sebagai pengalaman pribadi yang menyentuh pribadi setiap wisatawan.

Setiap destinasi di dunia sekarang ini berlomba-lomba memberikan pengalaman pribadi ini. Thailand misalnya menawarkan pengalaman untuk melakukan latihan-latihan meditasi pada monestry-monestry Buddha. 

Kamboja juga menawarkan berbagai bentuk ritual-ritual Buddha Kamboja pada candi-candi peninggalan lama. India juga menawarkan berbagai ashram untuk belajar kehidupan spiritual di sekitar situs-situs keagamaan. Pengalaman-pengalaman ini menjadi kelebihan dari destinasi tersebut, dari sekedar menikmati peninggalan masa lalu.

Pembangunan kelebihan ini mengingatkan kembali terhadap sejarah pariwisata dunia di mana pada abad ke-16 Masehi, pariwisata adalah perjalanan untuk belajar terhadap peradaban masa lalu. Fenomena ini disebut dengan grand tour, yang dilakukan elite-elite terdidik Eropa. Grand tour ini berkembang menjadi pariwisata massal sejalan dengan perkembangan alat-alat transportasi massal dan fasilitas lainnya. Pariwisata massal ini menggeser fenomena pariwisata dari belajar ke hiburan semata.

Pada melenial kedua ini, pariwisata kembali mengalami fenomena berwisata secara mandiri, karena berbagai kemudahan dalam pemesanan tiket dan fasilitas lainnya akibat kemajuan teknologi informasi. 

Banyak wisatawan sekarang ini melakukan perjalanan secara mandiri sehingga biro-biro perjalanan mengalami kebangkrutan seperti fenomena yang berlangsung dalam lima tahun belakangan ini. 

Perjalanan secara mandiri, akan lebih kepada pencarian pengalaman terlebih tingkat pendidikan masyarakat dunia yang sudah semakin maju, sehingga akan mendekati fenomena grand tour. Fenomena ini harus dilihat secara baik dalam penataan destinasi di mana perlu disediakan tempat-tempat untuk pencarian yang lebih dalam lagi.

Pencarian yang lebih dalam lagi bagi wisatawan, hanya bisa dilakukan dengan membangun masyarakat lokal secara non-fisik. Pembangunan non-fisik itu adalah pembangunan budaya masyarakat setempat. Pembangunan budaya setempat artinya bahwa masyarakat setempat harus dibangun untuk memberikan makna terhadap budayanya. Perubahan pasti terjadi dalam dinamika masyarakat tetapi bagaimana membangun perubahan tersebut dalam keunikan makna masyarakat lokal. Dalam konteks Besakih, masyarakat lokal harus ditempatkan dalam pemberi makna yang utuh terhadap monumen tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline