Lihat ke Halaman Asli

I. Addi Wisudawan

beginner writer

Tren Politik: Rasional

Diperbarui: 28 Juni 2018   20:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam beberapa bulan terakhir ini, sudah banyak baliho raksasa yang menyatakan deklarasi salah satu Ketua Umum Partai sebagai Cawapres 2019. Agak lucu memang, Calon Presidennya saja belum muncul, tetapi calon wakil presidennya sudah nampak. Walaupun diyakini oleh khalayak umum bahwa yang akan bertarung dalam bursa Calon Presiden adalah Joko Widodo dan Prabowo subianto, namun hingga saat ini belum ada deklarasi resmi perihal pencalonan keduanya. Banyak yang bertanya-tanya, kenapa tidak sekalian saja memproklamirkan menjadi Calon Presiden saja?

Tren Politik

Tren politik inilah yang menarik perhatian penulis untuk sedikit menganalisis berdasarkan beberapa fakta politik dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Semenjak kuatnya elektabilitas Joko Widodo dan Prabowo Subianto dalam pertarungan Pilpres 2014 lalu telah membuat mundur beberapa politisi senior yang sebelumnya terlihat sangat berhasrat akan posisi Presiden.

Sebut saja Wiranto, Surya Paloh, Aburizal Bakri hingga Hatta Rajasa dan beberapa tokoh yang lainnya. Akan tetapi pasca pemilu legislative akhirnya mengerucut pada 2 poros politik, yakni dari Koalisi Indonesia Hebat yang dimotori oleh PDI-Perjuangan (yang dengan legowo megawati memberikan tugas kepada jokowi sebagai Calon Presiden) dengan dukungan dari PKB, Partai NasDem, Partai Hanura, dan PKP Indonesia serta Partai Golkar yang terkahir masuk dalam koalisi ini.

Poros kedua adalah Koalisi Merah Putih yang mendorong Prabowo Subianto untuk menjadi Calon Presiden. Koalisi ini terdiri dari Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, dan Partai Golkar (walupun dalam perjalannya akhirnya PPP, PAN dan Partai Golkar menyatakan keluar dari koalisi ini). Hatta Rajasa yang sebelumnya digadang-gadang akan maju dalam bursa Calon Presiden dari PAN pada akhirnya mengalah untuk menjadi Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Sedangkan Jusuf Kalla yang pada saat itu sudah tak berhasrat kembali untuk muncul dalam bursa Calon Presiden pasca kekalahannya pada 2009 lalu kemudian menerima pinangan dari Koalisi Indonesia Hebat untuk mendampingi Joko Widodo dalam Pilpres 2014. Politisi senior seperti Wiranto dan Surya Paloh (yang sebelumnya berapi-api) pada akhirnya harus merelakan diri untuk memberi dukungan (sekaligus menjadi motor penggerak yang mengawinkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla) kepada Joko Widodo  melalui koalisi mereka bangun.

Berbeda halnya dengan Partai Demokrat, pada konvensi yang mereka adakan memunculkan Dahlan Iskan sebagai pemenang yang seharusnya diusung menjadi Calon Presiden dari Partai demokrat, akan tetapi dengan memperhatikan perolehan hasil suara pada pemilihan legislative Ketua Majelis Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono lebih cenderung menggeser peta politiknya untuk dapat mengajukan cawapres mendampingi salah satu capres terkuat pada saat itu.

Tren lainnya adalah munculnya beberapa Pasangan Calon Tunggal pada beberapa Pilkada Serentak. Pada tahun 2015 lalu setidaknya dari 101 daerah yang menggelar Pemilihan Kepala Daerah, terdapat 9 daerah yang hanya memiliki satu Pasangan Calon atau Calon Tunggal. 8 diantaranya adalah pasangan calon dari petahana. Pada Pilkada Serentak tahun 2018 ini, dari 171 daerah yang telah menggelar Pemilihan Kepala Daerah, terdapat 16 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon atau calon tunggal, 11 diantaranya adalah petahana.

Putusan Mahkamah Konstitusi

Terkait dengan munculnya Pasangan Calon Tunggal, hal ini tak terlepas dari putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan Permohonan Uji Materi yang diajukan oleh pakar komunikasi politik Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru. Mereka mengajukan uji materi Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya memperbolehkan daerah dengan Pasangan Calon Tunggal untuk melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah serentak periode pertama pada Desember 2015. Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menilai bahwa undang-undang mengamanatkan Pilkada sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan demokratis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline