Lihat ke Halaman Asli

Kurikulum Merdeka atau Kurikulum Mengekang

Diperbarui: 26 Mei 2024   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada tahun 2022, sekolah-sekolah di Indonesia mulai menerapkan Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini dirancang oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di bawah kepemimpinan Menteri Nadiem Makarim, dengan tujuan meningkatkan kualitas pendidikan dengan memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dalam menentukan proses belajar mengajar bagi guru dan siswa. 

Dengan pendekatan fleksibel dan berpusat pada siswa, Kurikulum Merdeka menekankan pengembangan keterampilan berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi yang esensial di era globalisasi dan digitalisasi. Namun, dalam penerapan kurikulum yang lebih fleksibel, ringkas, dan sederhana ini, muncul beberapa dampak negatif terhadap siswa-siswi pada tingkat pendidikan SMA.

Hal pertama yang menjadi keprihatinan dari penerapan Kurikulum Merdeka adalah fondasi ilmu yang lebih lemah dibanding kurikulum sebelumnya. Pada Kurikulum Merdeka, siswa-siswi diwajibkan untuk memilih mata pelajaran. Jika dibandingkan dengan Kurikulum 2013, jumlah pelajaran yang wajib dipelajari dari menjadi lebih sedikit. 

Misalkan seorang siswa memilih jurusan IPA, dari lima mata Pelajaran IPA (matematika, fisika, kimia, biologi, dan teknik informatika) yang harusnya ia pelajari apabila masih dalam masa kurikulum 2013, sekarang terbatas menjadi tiga mata pelajaran IPA pilihan. Mata pelajaran yang lain tidak akan dipelajari oleh siswa-siswi apabila mereka tidak memilihnya. Maka dari itu, siswa-siswi dirugikan karena tidak mendapatkan pengetahuan umum yang dibutuhkan di sekolah.

Masalah kedua yang muncul yaitu pelajaran peminatan yang tidak bisa diubah sepanjang pembelajaran di SMA. Jenjang SMA adalah waktu ketika seorang siswa mulai memikirkan cita-cita dan jurusan perguruan tinggi yang diinginkannya. Dengan hanya tiga mata pelajaran dari satu jurusan yang dipilih, serta satu pelajaran lintas minat, para siswa terpaksa untuk menentukan cita-cita dan jurusan perguruan tinggi yang diinginkan sejak kelas sepuluh. Namun, jurusan yang diminati bisa saja berubah dan bahkan bisa terjadi dekat masa pendaftaran kuliah. 

Sebagai contoh, seorang siswa yang memilih mata pelajaran kimia, fisika dan biologi pada kelas sepuluh dapat tertarik pada pendalaman matematika atau teknik informatika ketika ia masuk ke kelas 12. Namun, karena kebijakan yang membatasi mata pelajaran siswa yang dapat diambil, siswa tidak dapat mengeksplorasi ketertarikannya pada bidang lain. Hal ini lebih merugikan dibandingkan dengan Kurikulum 2013, saat  siswa-siswi mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk mengeksplorasi minat mereka karena siswa-siswi diwajibkan untuk mempelajari lima mata pelajaran jurusannya dan satu pelajaran peminatan lintas jurusan.

Secara keseluruhan, penerapan Kurikulum Merdeka membawa beberapa dampak negatif yang pada akhirnya mempersulit siswa-siswi SMA. Dengan kebijakan yang mewajibkan seorang siswa untuk memilih peminatannya yang terbatas pada usia lebih awal dari yang seharusnya, para siswa tidak mendapatkan ilmu dasar yang merupakan pengetahuan fondasi untuk jenjang pendidikan berikutnya, tidak dapat mengeksplorasi minat mereka, dan terpaksa untuk menentukan jurusan perguruan tinggi, serta cita-cita dalam waktu yang cukup singkat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline