Lihat ke Halaman Asli

[Untukmu Ibu] Cerita Tentang Kejujuran

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hyuna SN (197)

Untuk ibuku yang wajah cantiknya selalu terlukisdi langit mana pun yang kulihat…

Ibu, masih kuingat wajah cantikmu yang penuh peluh dan suaramu yang selalu meninggi ketika memarahiku. Kini, aku suka mengenang masa itu, Bu. Saat aku masih seorang gadis kecil, aku sering merasa aneh kenapa Ibu sering marah padaku padahal aku tak pernah merasa berbuat salah. Lalu, saat Ibu marah seperti itu, aku pasti akan duduk manis dan mendengarkan semua ceramahmu. Menunggumu menghabiskan semua kata yang sudah Ibu rancang sebagai sarapan harianku. Dan jika Ibu terlihat sudah hampir menyelesaikannya, aku akan bertanya, “Ibu, marah-marahnya sudah siap ya?” kutanya pertanyaan itu dengan wajah tak bersalah. Dengan senyum polos yang dulu selalu ada di wajahku. Tapi kini, saat jarak memisahkan kita, sungguh kenangan itu membawa tawa buatku. Aku ingin Ibu marah padaku lagi, Bu. Sama seperti waktu itu, Bu, walau aku tak bisa tersenyum sepolos dulu.

Untuk Ibu yang menunjukkan dunia padaku…

Ibu, bukankah Ibu mengatakan bahwa Ibu ingin melihat dunia? Bu, aku selalu terkagum saat menghitung jasamu. Jika Ibu tukarkan semua biaya yang harus Ibu keluarkan untuk membesarkanku dengan sebuah tiket perjalanan, sungguh masuk akal jika Ibu sudah melihat seisi dunia. Ibu pasti sudah merasakan salju, hujan, pasir, dan bebatuan hitam dari setiap negeri yang Ibu impikan. Tapi kenyataan berkata lain. Ibu hanya bisa duduk menikmati menikmati teh dan matahari sore di tempat yang sama dimana aku dibesarkan. Dan Ibu sudah mengatakan bahwa itu layak disebut surga dunia. Kadang aku berharap aku tak pernah terlahir dan Ibu pun bisa mewujudkan semua mimpi Ibu. Aku anak yang jahat ya, Bu. Dengan kehadiranku, kurampas mimpimu untuk melihat dunia itu. Saat itu, saat kuungkapkan ini padamu langsung, Ibu langsung memelukku dan membisikkan sesuatu, “Engkau adalah duniaku,” ucapmu padaku tersedu.

Untuk Ibu yang menjadi master ekonomi…

Ibu, aku menyukai pelajaran berhitung. Mungkin karena sejak kecil, Ibu sudah menerapkan peraturan hidup yang ekonomis padaku. Ibu mewajibkanku membeli barang yang kusuka dengan uangku sendiri. Ibu mewajibkanku tidak bergantung pada orang lain. Aku tidak boleh meronta-ronta, menjerit atau segala tipu daya itu untuk meminta sesuatu. Padahal, saat itu aku hanyalah seorang gadis kecil. Kadang aku iri dengan mereka yang sukses mendapatkan sesuatu hanya dengan menangis, Bu. Sedangkan, aku? Ah, Ibu, saat aku menggunakan cara itu, Ibu dengan manisnya mengatakan kejujuran, “Engkau bukan seekor putri duyung. Percuma saja menangis, air matamu tak akan berubah menjadi mutiara.” Dan aku pun tak pernah menangis lagi untuk mendapatkan sesuatu. Padahal mungkin saja aku adalah seekor putri duyung seperti di dongeng-dongeng itu. Sejak mereka mengatakan pada putri duyung itu cantik, aku juga mungkin seekor putri duyung karena aku mempunyai ibu yang cantik. Bu, walau waktu memberikan hadiah beberapa garis di wajahmu, Ibu sungguh masih sangat cantik. Ibu juga seorang master ekonomi yang cerdas. Berkat didikanmu itu, kini aku menyadari bahwa segala sesuatu yang kudapatkan dengan usahaku sendiri terasa lebih berarti, Bu. Tentu semua itu, berkat doa dan bimbinganmu.

Untuk Ibuku dan masakah lezatnya…

Jika aku mengatakan padamu bahwa makanan yang Ibu masakkan hari ini sangat lezat, tolong jangan buru-buru mengatakan aku berbohong, Bu. Para ibu di luar sana mungkin akan sangat senang jika anak mereka memuji bahwa masakannya lezat. Tapi masakan Ibu lezat walau kadang ada saja bumbu yang lupa Ibu tambahkan. Saat aku masih si gadis kecil lagi, aku sangat suka protes padamu, “Ah, Ibu, makanan yang ini terlalu asin,” atau sekedar protes, “Ah, Ibu, kenapa warna sambalnya tak lagi merah?” ketika kulihat sambal yang hangus itu. Padahal jika saat itu aku tahu alasannya, mungkin aku tak akan serewel itu. Ibu, aku tahu bukan karena Ibu tak pandai memasak maka masakan itu menjadi kurang lezat tapi karena Ibu harus melakukan segudang pekerjaan lainnya ketika memasak. Semua itu membuat Ibu tak pernah ada waktu menyiapkan semua rempah masakan itu dulu. Hanya untuk memastikan masih ada makanan lezat untuk dimakan esok hari. Aku sungguh menyesal sudah menambah kesulitan Ibu dengan keluhanku. Masakanmu sangat lezat dengan setiap cinta pengorbananmu sebagai bumbunya. Dan kini aku tumbuh dengan semua cinta dan pengorbananmu yang mengalir di darahku. Ibu, maafkan kebodohanku yang tak pernah mengerti bumbu masakah lezatmu.

Untuk Ibuku, Sang Pahlawan Jiwa

Ibu, dulu sekali aku iri kala melihat banyak orang yang memiliki segalanya. Dulu sekali, aku iri melihat setiap orang meneriakkan kebanggaannya dengan suara menggelegar. Dulu sekali, aku juga iri dengan jiwa-jiwa manja yang bisa terus hidup bersandar. Dulu sekali, Ibu. Sekarang, aku tahu bahwa mereka tak pernah memiliki sesuatu yang lebih dariku. Semua itu karena aku masih mempunyai Ibu yang telah membesarkanku dengan nilai luhur budaya timurmu. “Nak, gunakanlah bahasa yang santun. Engkau hidup di bumi yang menjunjung tinggi kesantuan.” Masih kuingat jelas nasehatmu, Bu. Oleh karena itu, biarkan aku berbisik padamu bahwa hadirmu memberiku kemerdekaan bagi jiwaku. Hadirmu membawa ketentraman jiwa untukku. Akan kugunakan bahasa yang santun yang Ibu ajarkan padaku. Seperti nasehat Ibu yang mengatakan bahwa pemilik bahasa adalah pemilik masa depan. Ibu, aku akan menerapkannya karena aku ingin mengenggam masa depan bersamamu, Bu.

Untuk Ibuku yang selalu mengerti…

Aku pernah mendengar sebuah kisah tentang anak dan ibunya. Anak-anak yang terlahir dengan kasih sayang penuh dari seorang ibu dan anak-anak yang terlahir tanpa kasih sayang seorang ibu, pasti memiliki nilai yang berbeda jika orang lain bercerita tentang sosok seorang ibu. Apa Ibu juga ingin tahu apa yang kupikirkan tentangmu? Bu, akhir-akhir ini pikiran ini menggangguku, Bu. Apakah ada kemungkinan bahwa walaupun seorang Ibu yang membesarkan anaknya dengan kasih sayang tapi anak tersebut tidak bisa merasakannya? Semua itu mengingatkanku padamu, Bu. Aku sungguh bersyukur Ibu membesarkanku dengan kasih sayang dan pengertian. Banyak Ibu yang menyanyangi anak mereka tapi tak banyak yang bisa mengerti tentang anak mereka sendiri. Dan ibuku… Ibu, terima kasih untuk tidak mendikte hidupku. Hanya Ibu yang membiarkan gadis kecilnya memanjat sebuah pohon tinggi untuk melihat ada apa di atas sana. Tak pernah kulihat Ibu ragu bahwa aku akan terjatuh. Suatu saat, aku ingin seperti Ibu, aku ingin mengerti sebab dan akibat. Aku ingin seperti Ibu yang selalu mau mengerti.

Untuk Ibuku dan senyum ketegarannya..

Ibu, aku ingin setegar dirimu. Aku tak pernah melihatmu menangis karena masalah yang kerap datang dalam hidupmu. Aku suka duduk di pangkuanmu dan menceritakan apa saja padamu. Ibu seperti sebuah bendungan besar yang siap mendengar semua keluh kesahku. Ibu selalu tegar. Tapi Bu, aku tak ingin Ibu seperti sebuah bendungan yang kerap menampung air yang saat ia pecah akan terjadi banjir. Menangislah Bu saat ini karena ketika suatu saat Ibu menumpahkan semua keluh kesah Ibu, aku takut aku tak mampu menjadi setegar Ibu. Aku takut aku tak bisa membendung air matamu, Bu. Aku takut aku tak bisa setegar Ibu.

Untuk Ibuku yang sempurna…

Ibu selalu mengatakan bahwa hidupmu baik-baik saja karena tak ingin menyusahkanku. Ibu selalu mengatakan bahwa cukup dengan melihatku bahagia, Ibu juga bahagia. Tapi, ceritakan satu kejujuran padaku, Bu… Apakah Ibu sudah bahagia? Sungguh aku malu pada bumi mengetahui akulah penyebab semua dukamu. Aku hanya bisa menangis melihat senyummu yang masih seindah dulu. Ibu sungguh masih secantik dan setegar waktu itu. Waktu dimana aku hanyalah seorang gadis kecil nakal yang sangat menyanyangimu. Dan walau waktu membawa kita berkelana jauh, aku akan terus menyanyangimu.

Untuk ibuku yang selalu terbangun lebih cepat dari kokok ayam dan yang tertidur setelah sang bintang juga mengantuk, terima kasih untuk kasihmu yang terbalaskan. Sungguh benar bahwa surga di bawah telapak kakimu.

NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community:http://www.kompasiana.com/androgini

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community: http://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline