Lihat ke Halaman Asli

Tragedi Rasa dari Paris

Diperbarui: 16 November 2015   13:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Kalau ada apa-apa itu mbok ya dikomunikasikan, biar nyambung apa maunya.”

Begitu biasanya kalimat yang muncul ketika sesuatu hal buruk yang tidak diinginkan terjadi antara dua pihak. Kebanyakan, satu pihak merasa sudah benar melakukannya, sementara pihak yang lain merasa hal itu tidak benar. Atau sebaliknya.

Istilah ‘keren’nya, nggak konek.

Komunikasi, dalam dunia hubungan, memang sangatlah krusial. Ia adalah jembatan keharmonisan antara dua belah pihak. Jika komunikasi tidak sampai atau tidak nyambung, perselisihan akan muncul. Orang Madura bisa bersitegang dengan orang Sunda gagal memahami bahasa masing-masing. Orang tua bisa marah kepada anaknya karena tidak mengerti apa yang dimaui sang buah hati. Perceraian suami-istri bisa terjadi karena komunikasi yang mampet. Pun, perang antarnegara bisa berlangsung karena komunikasi yang terhalang.

Mereka—yang saling berselisih itu—tidak paham cara yang benar untuk menyambung komunikasi. Mereka butuh “bahasa pemersatu”.

Sadar Rasa

Sejatinya, komunikasi yang terhambat antara dua pihak tersebut terjadi karena ada komunikasi yang terpenggal juga di dalam diri masing-masing pihak. Ada komunikasi yang “nggak konek” antara otak dan hati nurani. Artinya, otak dan hati nurani juga butuh bahasa pemersatu, yang bisa membuat otak dan hati tetap sinkron. Yang membuat pikiran dan tindakan menjadi satu paham.

Dan, bahasa pemersatu itu adalah “rasa”. Satu anugerah Tuhan yang kita sering mengabaikannya. Padahal, Tuhan memberikan pesan-pesan kehidupan kepada umat manusia melalui rasa yang tersimpan di dalam hati nurani. Dengan rasa inilah otak dan hati nurani senantiasa menyambung tali silaturahmi, sehingga pikiran dan tindakan kita pun akan selalu selaras dengan tuntunan luhur kehidupan sesuai petunjuk Tuhan.

Begitu rasa di dalam diri ini padam, kita susah berempati dengan pasangan kita. Begitu kita gagal merasa, kita akan sulit memahami apa yang diinginkan anak-anak kita. Saat seorang pemimpin negara “mati rasa”, maka negara-negara lain pun akan dianggapnya sebagai ancaman.

Sebaliknya, kalau saja para pelaku teror di Prancis itu berhasil menemukan bahasa pemersatu untuk otak dan hati nuraninya, maka mereka akan menganggap semua orang basudara, bukan lawan yang harus binasa. Andaikata para jihadist itu “benar merasa”, bukan “merasa benar”, maka mereka akan menganggap semua perbedaan yang ada adalah pelangi yang memperindah angkasa.

Tragedi Friday the 13th di Prancis, Jumat (13/11), adalah teror yang menyerang hati nurani kita dalam skala kuantum. Teror untuk mengingatkan, sudahkah kita menyertakan rasa dalam setiap ucapan dan tindakan kita? Karena sesungguhnya, rasa adalah juga merupakan bahasa pemersatu antara Tuhan dan manusia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline