Lihat ke Halaman Asli

Hyasint Asalang

Pergo et Perago

Cukup Satu Lilin Paskah

Diperbarui: 13 Juli 2021   17:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari sudah terbenam dan langit mulai gelap, sedangkan kami masih berada di tengah rawa dalam perjalanan asistensi paskah ke sebuah stasi di kampung bernama Selaou, Paroki St. Theresia Muting, Merauke.

“Mungkin kita akan bermalam di tengah rawa-rawa” ujar fr Julio, teman asistensiku sambil memperlihatkan wajah lesunya.

Rasa cemas pun menghampiri. Kami belum pernah sekalipun pergi ke sana, apalagi duduk terpanggang matahari di atas sebuah long boat yangseharian melaju kencang. Bersama kedua temanku, fr Julio dan fr Babo, kami sudah berangkat sejak pukul 05.00 bersama Anton, seorang driver perahuyang kami tumpangi. Kabut tebal diiringi angin dingin yang merongrong hingga ke tulang bukanlah sebuah penghalang yang berat.

“Sobat, ko tenang saja, tidur di mana saja pun jadi. Sebab anak manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala, hahaha”, kelakar fr Babo memecah kecemasan.

Anton yang sudah mengenal tempat tersebut tertawa kecil sambil menunjuk sebuah daratan yang masih beberapa mil lagi. Raut wajah fr Julio berubah. Ia tertawa bahagia dengan sedikit berteriak. Ya, di antara rawa-rawa yang gelap kami pun melihat cahaya. Di sanalah letak kampung tua itu. Sejak kampung ini dikenal, belum ada pastor yang pernah memimpin Ekaristi di sana.

“Jangankan pastor, frater pun belum pernah memimpin ibadat di sana” kata Anton mengindikasikan betapa kurangnya tenaga pastoral di pedalaman keuskupan Agung Merauke.  Inilah motivasi kami untuk melihat dan merasakan langsung keadaan umat yang jauh dari pelayanan pastoral.

Segalanya terasa barudi kampung ini. Rumah-rumah tua, kelabu dan beratap daun serta jalanan yang selalu dipenuhi abu. Dua orang bapak setengah baya telah menunggu kami. Dengan kehangatan yang tak dibuat-buat, mereka menyambut kami seperti keluarga sendiri. Mereka membawa kami ke sebuah rumah kosong dekat gereja. Meski hanya beratap daun dan berlantai kayu, tempat ini sudah dipenuhi cinta dari orang-orang sederhana. Hari ini rabu dan besok kami merayakan Kamis Putih. Kami akan tinggal selama empat hari untuk merayakan paskah bersama umat di kampung ini.

***

Perayaan kamis putih penuh hikmat kami rayakan dengan sederhana. Ibadat malam ini dipimpin oleh fr Julio. AkudanfrBabomembantunyadengantugasmembasuh kaki duabelasrasul yang telahditentukanpak Lukas sebagaiketuadewan. Ada rasa haru yang mendalam ketika seorang bapak berumur 50an tahun menangis perlahan sewaktu aku membasuh kakinya. Ia berperan sebagai salah satu rasul yang dibasuh kakinya. Semua orang di dalam gereja melihatnya menangis. Setelah ibadat, pak Lukas menceritakan kepada kami sebab musabab beliau menangis.

“Ia adalah seorang bapak yang memiliki dua anak. Malam kamis putih adalah peringatan tersendiri baginya karena pada malam kamis putih lima tahun lalu istrinya hilang terbawa arus ketika mereka akan merayakan paskah di sini. Sejak saat itu ia selalu menangis ketika ibadat berlangsung”, cerita pak Lukas singkat.

Kami terhenyak. Tak ada komentar yang keluar. Hanya tarikan nafas panjang sambil saling bertatapan di antara kami seakan mengucap syukur kami tiba dengan selamat di kampung ini. Malam ini kami meluangkan waktu untuk berdoa selama satu jam sebelum akhirnya terlelap di malam gelap.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline