Lihat ke Halaman Asli

Hyasint Asalang

Pergo et Perago

Generasi Muda: Pencabut Duri dalam Daging Ekologi

Diperbarui: 24 Juni 2019   13:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Prolog
Pembahasan mengenai ekologi merupakan subject-matter yang sangat penting dan tak akan pernah redup oleh zaman. Tema tentang ekologi bukan saja menjadi objek kajian dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti antropologi, sosiologi, psikologi, dan lain-lain, melainkan juga membawa setiap orang pada pemahaman tentang keberlangsungan dan terciptanya suatu masyarakat yang dinamis. Namun, di balik semua objek kajian serta berbagai pemahaman yang tercipta, sebuah pertanyaan yang sering muncul dalam pembicaraan mengenai ekologi: bagaimana nasib ekologi dalam tata pembangunan di tahun-tahun yang akan datang? Siapa yang akan bertanggungjawab atas krisis ekologi yang sementara ini dialami?

Cinta pada ekologi; kerinduan dan komitmen terhadap cita-cita ekologi yang sehat dan berdaya guna serta memberi kehidupan; kesadaran akan adanya dorongan karakter alamiah yang sama sebagai makhluk hidup adalah hal yang menjadi tugas manusia. Manusia telah dipilih sebagai makhluk hidup unggulan yang dipercaya untuk mengelola, mengatur sekaligus memanfaatkan seluruh potensi alam di sekitarnya sesuai ketentuan yang telah digariskan oleh sang penciptanya. Oleh karena itu manusia berkewajiban untuk menjaga keselarasan dan keseimbangan antara keseluruhan komponen ekosistem, baik yang bersifat alamiah maupun buatan, demi terjaminnya keberlangsungan hidup seluruh makhluk hidup di muka bumi ini.

Manusia memang tidak akan pernah bisa lepas dari tanggungjawab tersebut karena secara ekologis ia merupakan bagian dari lingkungan hidup itu sendiri. Namun, sebagai makhluk sosial yang dilengkapi dengan komponen akal dan nafsu, manusia akan selalu berusaha untuk melakukan intervensi terhadap lingkungan hidup melalui berbagai tindakan rekayasa demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Akibatnya terlihat jelas. Kerusakan lingkungan pada umumnya merupakan pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Suka atau tidak, ekologi kita sedang mengalami krisis. Dan generasi sekarang khususnya generasi muda adalah generasi yang harus mengembalikan keutuhan ekologi. Berbagai perkumpulan dan organisasi kepemudaan dalam masyarakat hendaknya berupaya meningkatkan kesadaran ekologi untuk bereaksi dan menyikapi krisis ini.

Krisis Ekologi: Duri dalam Daging
Ekologi dan manusia saling berhubungan. Namun hubungan ini tengah rusak dan mengalami krisis: ada duri dalam tubuh ekologi. Saat ini krisis ekologi bukan lagi  kemungkinan masa depan, namun sudah menjadi realita kontemporer yang melebihi batas-batas toleransi dan kemampuan adaptasi lingkungan. Pola kebijakan pembangunan yang hanya bertujuan untuk memenuhi tuntutan jangka pendek tanpa mempertimbangkan lingkungan hidup, berpotensi menimbulkan ancaman jangka panjang yang sangat tidak menguntungkan bagi kehidupan umat manusia dan makhluk hidup pada umumnya (Wijoyo, 2003).

Berbagai permasalahan ini antara lain: kasus Freeport, berbagai perusahaan kelapa sawit, penambangan liar, kerusakan cagar alam, banjir, kerusakan hutan yang diakibatkan karena kebakaran hutan dan berbagai persoalan lingkungan hidup yang dapat kita lihat di mana-mana. Inilah duri-duri yang sedang menusuk tubuh ekologi. Meskipun demikian, tentu kita pun tak dapat menutup mata terhadap kebijakan pemerintah yang memiliki empati yang tinggi terhadap ekologi. Salah satu yang sering dan sudah terlaksana ialah penanganan sampah yang berkesinambungan. Namun, duri adalah duri yang akan semakin menusuk, jika kita hanya membiarkannya tanpa upaya mengeluarkannya.

Tantangan Bagi Generasi Muda
Pertama: Krisis Makna Ekologi. Krisis ekologi bukan hanya tampak pada tangisan ekologi akibat ulah manusia, melainkan juga ialah krisis akan makna ekologi itu sendiri. Krisis makna disebabkan oleh kurangnya pemahaman yang mapan tentang ekologi. Pemahaman yang baik didasarkan pada pengenalan masalah ekologi yang kini dihadapi. Sebab, setiap generasi memiliki tantangan yang berbeda, dengan masalah ekologi yang berbeda pula. 

Tantangan yang berbeda menghasilkan formulasi sikap: aksi dan reaksi yang juga berbeda. Pada arus ini pemahaman ekologi sebagai senyawa bagi makhluk hidup menjadi kurang relevan dan dinamis. Ekologi hanya dipandang di luar keberadaan kita dan bukan sebagai bagian dari pribadi kita. Oleh karena itu, konsep ekologi hendaknya diformulasikan sesuai dengan eksistensi manusia sehingga setiap orang tidak bebas bereksplorasi dengan alam semaunya saja. Bila perlu, ia harus dogmatis, kaku dan tertutup untuk menjaga alam ini tetap aman. Selebihnya, kita perlu terampil dengan adanya pemahaman yang benar akan ekologi dan akar permasalahannya.

Kedua: ketidaksiapan generasi muda. Generasi ini lahir dan bertumbuh dalam satu dunia, suatu masa yang cepat berubah. Suatu masa di mana semua nilai, keutamaan-kebajikan moral, religius, etika, dan lainnya mengalami benturan secara keras dan transparan dengan nilai-nilai baru, yang mengganggu keabsahan dan eksistensi nilai-nilai luhur ekologi. Nilai-nilai baru antara lain, hedonisme, mental konsumtif, moral relative, agama relative-malah tak penting, pendewaan ratio, mental up to date yang hiperbolis, perilaku "luar negeri minded". 

Semua ini buah globalisasi. Ciri utama era ini adalah: jejalan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir; gelombang informasi dari segala penjuru dunia; keterbukaan hubungan komunikasi; transparansi berbagai permasalahan: baik hak asasi maupun ketelanjangan analisis berpikir dan menguraikan pendapat. Dengan segala ciri yang ada, globalisasi merupakan tantangan serius.

 Banyak dampak negatif selain aspek positif era baru ini yang perlu diwaspadai. Sebut saja, bahaya individualisme; adanya pluralisme dalam banyak aspek kehidupan, tentu saja rawan konflik; intervensi ekologi besar-besaran lewat media audiovisual yang berbudaya hedonistik dengan empat sikap-formulasinya: konsumerisme, mumpungisme, sloganisme dan sikap menghina orang kecil.  (Suseno, 1992). Ketidaksiapan-ketidaktahuan generasi sekarang mempribadikan nilai-nilai luhur ekologi semestinya harus disejajarkan dengan arus tantangan sekarang ini. Sebab, arus baru ini akan menggiring manusia menuju suatu arena krisis makna diri. Jika demikian, ekologi bagaikan kayu terseret arus atau layang-layang putus talinya.

Ketiga: benturan dengan perusak ekologi. Ini merupakan salah satu tantangan yang tidak boleh diremehkan.  Yang jelas, kita tak pernah tahu siapa orang yang berada di baliknya. Kita berhadapan dengan bayangan. Namun, wajah bayangan itu dapat terlihat jelas apabila ada perbedaan persepsi/perspektif dalam menyikapi pertumbuhan ekologi yang sehat. Kaum muda lebih dekat dengan dengan cita-cita luhur ekologi. Dan para perusak lebih dekat dengan kemapanan pribadi dan realitas yang menguntungkan. Maka akan terjadi benturan karena yang satu terpesona oleh cita-cita, yang lain repot mengurus kepentingan pribadi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline