November menjadi bulan dimulainya ritual turun sawah sebagai persiapan untuk memasuki masa tanam. Bagi masyarakat Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, proses ini diawali dengan masa tanam padi yang dikenal dengan sebutan tradisi mappalili.
Mappalili artinya sebagai awal dimulainya masa tanam serta adanya serangkaian ritual yang dipandu langsung oleh Puang Matoa, istilah ini untuk pimpinan bissu yaitu kelompok khas yang ada di Pangkep. Di dalam tradisi mereka, bissu yang diberikan amanah sebagai pelaksana ritual serta prosesi ini dilakukan secara turun temurun. Pada malam hari, para bissu melaksanakan matteddu arajang yang dimaksudkan dapat membangunkan barang pusaka. Selain itu, Arajang diakui oleh bissu serta warga sekitar sebagai barang pusaka yang berbentuk kayu dan datangnya dari langit. Pada prosesi mappalili ini diawali dari rumah adat arajang kemudian kayu itu tersebut yang akan dibawa berjalan sejauh kurang lebih sepuluh kilometer, dimulai dari rumah arajang di Kelurahan Bonto Matene sampai ke Kelurahan Bawasalo.
Sebagai benda pusaka, Arajang ini sangat dijaga dan dilindungi. Dikala mattedu arajang, para bissu mengawali ritual dengan diiringi tabuhan gendang serta mantera khas. Maggiri ini sebagai prosesi yang selalu menarik perhatian serta senantiasa dilakukan tiap upacara adat diselenggarakan. Tarian maggiri ini dilakukan oleh para bissu dengan menusukkan keris ke tangan, perut, leher, serta pergelangan tangan.
Para bissu ini nampak kebal dengan senjata tajam yang ditusukkan ke badannya. Hal ini dilakukan sembari berjalan, duduk, serta kadangkala mengentakkan kaki dengan keras. Bissu ini terus melantunkan mantera serta menabuh gendang.
Tibalah pada hari puncak ritual mappalili, dikenal dengan sebutan Makecce- kecce atau dikenal sebagai prosesi menyiram. Warga Segeri, telah berdiri di depan rumahnya masing-masing kemudian mereka menyediakan ember yang berisi air yang sengaja disiapkan untuk menyiramkan kepada rombongan bissu yang akan melewati jalan tersebut.
Prosesi adat ini disambut suka cita oleh warga setempat. Ketika turun dari rumah arajang, beberapa anak turut membawa bendera menyongsong turunnya Puang Matoa, bissu yang digelari dengan Puang Matoa saat ini. Puang Matoa turun mengenakan baju putih dan dipayungi bak raja dengan diiringi bendera bermacam warna seperti putih, merah serta kuning. Anak-anak secara teratur membawa bendera tersebut kemudian diiringi oleh Puang Matoa. Di belakangnya pula terdapat bissu lain yang turut ikut dalam ritual ini, rombongan bissu yang berjalan kaki bersama warga Segeri diiringi alunan alat musik yang didendangkan sejauh perjalanan.
Warga nampak sangat gembira dengan kedatangan rombongan yang dipandu oleh Puang Matoa. Rombongan ini berjalan mengarah sawah yang terletak di Kelurahan Bawasalo dan disitu terdapat ritual majori, atau dikenal dengan sebutan menggaris tanah di persawahan. Di tempat itu pula dilakukan lagi ritual maccera ataupun menyembelih ayam sebagai simbol kesyukuran. Sekalian awal dimulainya persiapan turun sawah dan di salah satu sawah Puang Matoa kembali menggelar ritual maggiri.
Kepulangan Puang Matoa dari sawah selalu ditunggu oleh masyarakat di sepanjang jalan karena mereka telah siap menyiramkan air ke seluruh orang yang akan melintas di jalan tersebut. Tidak mengenal baik pejabat, anak kecil, serta seluruh yang melintas masyarakat sekitar langsung menyiramkannya begitu saja. Air memanglah disimbolkan sebagai sumber keberkahan.
Jalan yang ditempuh Puang Matoa beserta iring- iringannya tidak terlihat adanya rasa letih. Sehabis berjalan, Puang Matoa kembali ke arajang dan disitulah ritual maggiri serta pencucian kayu arajang di depan rumah arajang tersebut dimulai.
Mappalili sebagai tradisi awal mula turun sawah dianggap sebagai upaya untuk melestarikan budaya serta adat istiadat Kabupaten Pangkep. Dalam prosesi ritual adat mappalili Segeri ini mengaitkan bissu Arajang Segeri yang dikoordinasi Puang Matoa Bissu Wa Nani. Ada 3 tahapan atraksi budaya, yaitu mattedu arajang, mangngalu serta majjori.