Lihat ke Halaman Asli

Husnulkatim

Masih belajar

Telepon Ibu seperti Adik

Diperbarui: 30 Oktober 2017   16:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebelum merantau, Ibu meminta anaknya yang nomor dua agar sering menelepon ke rumah. Ia diberi contoh adiknya. Kata ibu, "adikmu tiap Minggu membuat ponsel ibu berdering." Ia gondok. Masa' ia diajari adiknya?

Kemudian ia mencoba menelepon ibunya begitu sampai di rantau. Di bandara, sebelum naik pesawat, turun pesawat, sampai duduk di kediaman. Ia lega, tampaknya bisa menjalankan permintaan ibu.

Seminggu dua minggu kemudian ia masih sering menelepon. Pulsanya masih banyak, tapi tidak sebanyak kuota data internet. Kabar yang disampaikan remeh temeh saja. Kuliah belum dimulai, ia mengisi waktu kosong untuk persiapan pindah. Tempat tinggal lama habis kontraknya.

Sebulan sudah, ia tetap menelepon ibu tiap minggu. Sekedar bertanya "ibu bapak sehatkah?" dan "adik-adik bagaimana?". Kali ini ia menelepon begitu dapat bonus gratisan. Awal-awal kuliah masih menyisakan waktu senggang sebab diisi ceramah dosen soal visi misi universitas.

Hampir dua bulan, tiap minggu ada sms dari bapak, "ananda sehat?" Jadi terbalik, gantian orang tua bertanya. Tujuh hari kemudian pesan yang sama masuk lagi. Hanya dijawab singkat, "Alhamdulillah, sehat, bapak ibu bagaimana?".

Kini sudah tiga bulan, selalu bapak atau ibu bertanya duluan. Dering telepon tidak ada. Beliau berdua memilih aplikasi WhatsApp untuk bertanya. Mereka tau, kuota data anaknya tidak pernah kosong. Juga, anaknya selalu standby bila notifikasi muncul.

Rupanya si anak kedua tidak bisa Istiqomah seperti adiknya, kelas tiga Tsanawiyah di pesantren. Ibu mungkin tidak mau lagi memberi contoh, atau perlu contoh lain.

Begitulah, bagi orang tua kabar anak sangat penting. Biar anak tidak memberi kabar, ibu dan bapak akan tetap menghubungi dan bertanya. Itu sebabnya mereka mencari cara gampang bagi anaknya untuk berkomunikasi.

Si anak kedua, termakan masa. Sebab belum menjadi kebiasaan serius, menelepon setiap minggu. Terkadang ia baru sadar malam hari ketika aktivitas berkurang, ia belum menghubungi orang tua seminggu ini. Banyaknya kegiatan lain yang menyita, seharusnya bukan alasan, atau karena berceloteh ria di media sosial yang istilahnya "chatting" dengan teman jauh lebih menarik.

Orang tua tidak lupa dengan anak. Anak seharusnya begitu. Sedikit kabar sangat berarti bagi keduanya. Belajar membiasakan menghubungi orang tua setiap minggu sangat penting bagi anak, agar ia paham, nanti mereka akan jadi orang tua juga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline