Lihat ke Halaman Asli

Husnul Khatimah

inclusive enthusiast

Mengisi Kekosongan Pengasuhan: Tantangan dan Harapan untuk Kesejahteraan Anak

Diperbarui: 26 November 2024   14:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Anak tidak seharusnya jadi korban konflik. Ciptakan keseimbangan kasih sayang meski dalam situasi sulit. Foto:Shutterstock" 

Ketika membahas peran orang tua dalam kehidupan anak, sering kali kita lupa bahwa pola asuh yang stabil dan penuh kasih sayang adalah salah satu fondasi utama bagi perkembangan emosional dan sosial mereka. Namun, bagaimana jika fondasi ini terganggu karena kondisi yang sulit, seperti perceraian? Anak-anak dalam situasi seperti ini sering kali menghadapi tantangan yang tidak hanya berdampak pada kesejahteraan mereka, tetapi juga pada proses belajar dan kehidupan sosial mereka di sekolah.

Ketika Kekosongan Pengasuhan Terjadi

Salah satu hal yang paling memprihatinkan adalah ketika konflik antara orang tua tidak selesai bahkan setelah perceraian, dan anak menjadi pihak yang terkena dampaknya. Dalam beberapa kasus, kekosongan pengasuhan ini kemudian diisi oleh kakek dan nenek. Meski niat mereka baik, pola asuh generasi sebelumnya sering kali tidak relevan dengan kebutuhan anak saat ini. Beberapa cenderung terlalu memanjakan, sementara yang lain terlalu menuntut, sering kali menempatkan anak dalam tekanan yang tidak sesuai dengan usia dan kapasitas mereka.

Ketidaksesuaian ini bisa memengaruhi perkembangan anak, terutama dalam hal pengelolaan emosi. Anak-anak yang tidak mendapatkan dukungan emosional yang konsisten cenderung lebih sulit menghadapi tekanan di sekolah. Hal ini bisa terlihat dari perilaku mereka di kelas---entah menjadi pasif dan menarik diri, atau sebaliknya, menunjukkan agresi yang sulit dikendalikan.

Hak Anak yang Terkadang Terlupakan

Dalam banyak kasus perceraian, sering kali fokusnya adalah pada hak dan kewajiban orang tua, sementara hak anak untuk menerima kasih sayang lahir dan batin justru terabaikan. Padahal, pengadilan sering kali dengan tegas menyatakan bahwa kedua orang tua tetap memiliki kewajiban untuk mendukung anak, baik secara emosional maupun finansial.

Namun, apa yang terjadi ketika salah satu orang tua dilarang bertemu anaknya? Ini adalah dilema yang tidak hanya memengaruhi anak, tetapi juga sekolah sebagai pihak ketiga. Sebagai institusi yang mendukung tumbuh kembang anak, sekolah sering kali berada dalam posisi sulit ketika diminta untuk memfasilitasi pertemuan diam-diam. Di satu sisi, ada kebutuhan anak untuk merasakan kasih sayang kedua orang tuanya. Namun di sisi lain, ada batasan hukum dan etika yang harus dipertimbangkan.

Peran Sekolah dalam Menyeimbangkan Kebutuhan Anak

Sebagai lingkungan yang mendukung perkembangan anak, sekolah memiliki tanggung jawab untuk menciptakan ruang yang aman dan inklusif. Anak-anak yang mendapatkan kasih sayang yang seimbang dari kedua orang tua---meskipun mereka sudah bercerai---sering kali menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam pengelolaan emosi mereka. Hal ini tercermin dari interaksi mereka dengan teman sebaya, kemampuan mereka untuk fokus belajar, dan keberanian mereka dalam mengekspresikan diri.

Namun, tanggung jawab ini tidak seharusnya sepenuhnya dibebankan pada sekolah. Orang tua dan keluarga besar harus memahami pentingnya komunikasi yang sehat dan konsistensi dalam pola asuh, meskipun ada perbedaan di antara mereka. Sekolah dapat berperan sebagai mediator untuk memfasilitasi dialog yang produktif antara orang tua, membantu mereka melihat kebutuhan anak sebagai prioritas utama.

"Perceraian boleh terjadi, tapi kasih sayang orang tua pada anak tak boleh berhenti."

Menuju Pola Asuh yang Lebih Baik

Pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah kesadaran bersama bahwa anak adalah individu yang membutuhkan stabilitas emosional untuk tumbuh dengan baik. Perceraian mungkin menjadi solusi bagi konflik rumah tangga, tetapi itu tidak seharusnya menjadi akhir dari tanggung jawab orang tua terhadap anak. Komunikasi yang sehat, kerja sama yang baik antara kedua orang tua, serta dukungan dari keluarga besar dapat menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan anak, terlepas dari situasi yang sulit.

Dalam praktiknya, ini berarti:

  1. Fokus pada kebutuhan anak, bukan pada konflik orang tua.
  2. Menghormati hak anak untuk mencintai kedua orang tua, tanpa harus memilih pihak.
  3. Melibatkan keluarga besar dengan panduan yang jelas, agar pola asuh tetap konsisten dan sesuai dengan kebutuhan anak.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline