Lihat ke Halaman Asli

Husnul Khatimah

inclusive enthusiast

Menghapus Kata "Cacat": Mengatasi Sikap "Tone Deaf" dalam Bahasa Pendidikan Inklusif

Diperbarui: 30 Agustus 2024   20:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto pribadi : penggunaan kata "cacat" masih ditemukan pada buku pembelajaran

"Bayangkan sebuah buku pelajaran di tangan anak Anda, di mana setiap halaman seharusnya menginspirasi dan mendidik. Namun, di tengah harapan itu, terselip kalimat yang menusuk hati: 'Anak cacat memerlukan bantuan kursi roda agar dapat berjalan.' Kata 'cacat' seakan menghapus potensi dan martabat anak-anak berkebutuhan khusus, menjadikan mereka sekadar label di tengah perjuangan panjang menuju inklusivitas. Mengapa, di zaman ini, istilah seperti itu masih digunakan? Apakah kita benar-benar memahami dampaknya?"

Kata "cacat" mungkin terdengar sederhana bagi sebagian orang, namun dampak psikologis dan emosional dari kata tersebut bisa sangat dalam, terutama bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus dan orang tua mereka. Kata ini mengandung konotasi negatif, seakan-akan anak dengan kebutuhan khusus adalah sesuatu yang kurang atau rusak, bukan sebagai individu dengan keunikan dan potensi. Pada saat kita sedang berusaha untuk membangun masyarakat yang inklusif, istilah semacam ini mencerminkan sikap tone deaf---kurang peka terhadap perkembangan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih empatik.

Mengapa Penggunaan Kata "Cacat" adalah Tone Deaf?

Penggunaan istilah "cacat" dalam buku pelajaran mencerminkan ketidakpedulian atau ketidaktahuan terhadap kebutuhan perubahan dalam sistem pendidikan kita. Ini adalah contoh nyata dari sikap tone deaf---sikap yang tidak menyadari atau mengabaikan sensitivitas sosial yang berkembang. Kata ini, meskipun umum digunakan di masa lalu, kini tidak lagi sesuai dengan semangat pendidikan inklusif yang menghargai setiap individu.

Ketika kita berbicara tentang pendidikan inklusif, yang dimaksud adalah menciptakan lingkungan di mana setiap anak, tanpa kecuali, merasa diterima, dihargai, dan didorong untuk berkembang. Penggunaan istilah yang tidak sensitif dan menyinggung seperti "cacat" hanya akan memperkuat stigma negatif dan menghambat upaya untuk menciptakan sekolah dan masyarakat yang lebih inklusif. Kata ini mengandung pesan tersembunyi bahwa ada sesuatu yang "salah" dengan anak-anak ini, sebuah asumsi yang sangat jauh dari kenyataan.

Dampak Negatif dari Bahasa yang Tone Deaf dalam Pendidikan

Penggunaan bahasa yang tidak sensitif dalam buku pelajaran dapat berdampak besar pada kesejahteraan emosional dan psikologis anak-anak berkebutuhan khusus. Mereka mungkin merasa rendah diri, tidak dihargai, dan bahkan termarginalisasi sejak dini. Hal ini juga dapat mengurangi semangat belajar mereka, yang pada gilirannya mempengaruhi prestasi akademis dan pengembangan diri mereka.

Lebih buruk lagi, bahasa yang tidak inklusif ini tidak hanya memengaruhi anak-anak dengan kebutuhan khusus, tetapi juga memengaruhi bagaimana anak-anak lain melihat dan memperlakukan mereka. Jika buku pelajaran---sebuah sumber belajar utama di sekolah---menggunakan kata-kata yang merendahkan, maka ini bisa memperkuat stereotip negatif dan diskriminasi di antara siswa-siswa lainnya. Ketika anak-anak belajar dari usia dini bahwa teman-teman mereka dilabeli dengan istilah yang tidak sensitif, sikap dan perilaku diskriminatif dapat tertanam dan sulit diubah.

Pentingnya Menggunakan Bahasa yang Inklusif

Penggunaan bahasa yang tepat dan inklusif adalah langkah pertama menuju pendidikan yang adil dan setara. Istilah seperti "anak dengan kebutuhan khusus," "individu dengan disabilitas," atau "anak dengan hambatan fisik" jauh lebih inklusif dan menghargai martabat manusia. Mereka menempatkan fokus pada individu, bukan pada keterbatasannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline