Lihat ke Halaman Asli

Moderasi: Kecerdasan Beragama

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sikap moderat adalah pilihan terbaik umat beragama untuk memelihara agama sebagai rahmat bagi segenap manusia dan alam. Moderasi adalah alternatif paling cerdas agar umat beragama tidak terjerembab pada ekstrimisme dan radikalisme. Lebih dari itu, sikap moderat merupakan kemuliaan setiap agama untuk menjaga harmonisasi hubungan antarumat beragama yang berbeda-beda.

Kita tidak rela keberagamaan yang seharusnya menyejukkan dan mendamaikan, alih-alih memenuhi atmosfer publik dengan prasangka dan kedengkian. Kita juga tidak menghendaki agama yang mulanya memerankan diri sebagai juru damai dan keselamatan justru menjelma menjadi kekuatan pengoyak rasa aman masyarakat. Hakikat ajaran agama-agama yang sejuk-damai-toleran jangan sampai berubah menjadi pemicu kekerasan dan kebencian. Kesucian agama yang menjadi kekuatan khasnya tidak boleh dinodai oleh otoritarianisme hermeneutik, suatu klaim tafsir kebenaran yang menakutka.

Para "penafsir otoritarian" yang hanya mengakui kesahihan satu jenis tafsir itu sudah pasti memberikan pengaruh yang tidak kecil terhadap berkembangnya konservatisme paham-paham keagamaan yang belakangan banyak dijumpai di Tanah Air. Hampir di setiap sudut perkotaan dan perdesaan dapat kita temui kelompok-kelompok keagamaan militan yang mengaksentuasikan diri pada simbol pakaian, bahasa dan gaya bicara. Penggunaan simbol-simbol yang berasal dari tradisi dan budaya Arab itu sekaligus sebagai pembangkit citra otentisitas, keaslian, dan puritanisme. Kesetiaannya pada jenis dan pola pakaian tertentu memperkuat citra-diri sebagai pemelihara dan penjaga keaslian ajaran agama.

Sayang sekali bahwa loyalitas yang teguh dan kuat terhadap "kemurnian agama" itu acapkali disertai oleh sikap-sikap intoleran, prasangka, dan tak kenal kompromi ketika berhadapan dengan komunitas keagamaan lain. Penolakan kelompok konservatif terhadap segala bentuk "percampuran" unsur lokalitas dengan corpus agama, tidak jarang melahirkan ketegangan-ketegangan dengan komunitas keagamaan arus utama.

Daya pikat konservatisme dan puritanisme keagamaan yang terletak pada citra otentisitas, kemurnian, simbol pakaian, serta anti asing (baca: Amerika Serikat), secara bertahap berhasil menarik ribuan anak muda dari berbagai kalangan. Anak-anak muda yang mengalami himpitan sosial dan ekonomi, yang frustrasi terhadap nasib bangsa Palestina yang tak kunjung menemui titik terang, serta ketidakpuasan terhadap gaya dan perilaku kepemimpinan pemuka agama arus utama, merupakan faktor-faktor pemicu semakin kuatnya konservatisme. Bagi anak-anak muda, konservatisme mampu menawarkan dan memberikan jalan keluar atas pelbagai problem sosial-keagamaan yang tidak berhasil dijawab oleh komunitas keagamaan arus utama.

Peran Penguasa

Semakin menguatnya konservatisme keagamaan juga akibat dari strategi gerakan kelompok ini yang tidak mengusung isu-isu yang berlawanan dengan kepentingan penguasa, sehingga kelompok ini nyaris tidak memiliki problem berarti dalam hubungannya dengan kekuasaan politik. Bahkan beberapa isu yang diusung kelompok ini seringkali "membawa berkah" bagi penguasa. Isu tentang pendidikan agama dalam UU Sisdiknas beberapa tahun yang lampau, perda-perda bernuansa Syari'ah di beberapa daerah, dan lain-lain adalah beberapa isu yang ketika diterima dan disahkan, maka pada saat yang sama, penguasa akan menuai dukungan publik yang luas. Ini berbeda sekali, misalnya, dengan isu-isu yang diusung oleh kelompok masyarakat sipil (civil society) yang sebagian besar menjadikan penguasa sebagai sasaran tembaknya. Isu tentang hak asasi manusia, kejahatan korupsi, penegakan hukum, gender, kemiskinan, perusakan lingkungan dan lain-lain yang menjadi concern kelompok masyarakat sipil, nyaris tidak pernah diwacanakan dalam gerakan keagamaan konservatif. Entah karena isu-isu tersebut merepresentasikan kepentingan Barat yang menjadi musuhnya atau karena isu-isu itu tidak secara tekstual termaktub dalam kitab suci, yang jelas, pengabaian terhadap berbagai isu yang menjadi problem nyata masyarakat itu "amat menguntungkan" kelompok keagamaan konservatif karena tidak secara langsung berseberangan dengan kepentingan penguasa.

Dengan begitu, menjadi tidak heran apabila penguasa sama sekali tidak khawatir terhadap gejala menguatnya konservatisme keagamaan. Bahkan demi meraih dukungan publik yang lebih besar, penguasa tidak jarang bersinergi dengan kekuatan keagamaan konservatif, misalnya, dengan cara "membiarkan" gerakan ini melakukan intimidasi dan perusakan terhadap objek properti komunitas keagamaan lain yang berbada. Bahkan dengan hanya melakukan politik pembiaran saja, penguasa sudah pasti mendapat keuntungan dari dukungan publik yang diperolehnya.

Penguatan Khalafisme

Paham keagamaan khalafisme pada hakikatnya adalah paham yang mengakui dan menerima keniscayaan dialog antara teks dengan konteks, penghargaan terhadap akal sehat, dan penerimaan terhadap perbedaan dan pluralitas. Paham ini berpandangan bahwa teks suci akan lebih bermakna apabila ditafsirkan secara terus-menurut sejalan dengan dinamika, sejarah dan pengalaman manusia. Pengabaian terhadap konteks ruang dan waktu dalam penafsiran teks tidak hanya akan menjadikannya sebagai corpus keagamaan yang kurang bermakna, alih-alih justru pengingkaran terhadap riwayat dan sebab-sebab turunnya teks.

Khalafisme adalah suatu konsep yang sejak lama dikenal dalam literatur Islam sebagai rival dari salafisme, tetapi penggunaannya sebagai atribut keagamaan kurang begitu disukai bahkan oleh penganutnya sendiri. Ini bukan saja karena kompleksitas makna yang dikandungnya, melainkan juga konotasinya yang bagi kebanyakan umat Islam kurang diterima. Mazhab khalaf, misalnya, biasanya identik dengan para pengikut paham yang hadir belakangan (khalf) yang menggunakan rasionalitas dan ta'wil dalam merumuskan ajarannya, sehingga ditengarai tidak otentik, tidak murni, bahkan bid'ah dan penyelewengan.

Di Tanah Air, pandangan kurang positif terhadap khalafisme itu berkorelasi positif dengan semakin kuatnya konservatisme keagamaan, khususnya melalui gerakan purifikasi ajaran yang santer dikumandangkan paham salafisme. Kemampuan para pendukung paham ini untuk mendapat apresiasi positif secara lebih luas memang dihadapkan pada banyak tantangan. Selain itu, momentum untuk mengembangkan paham moderat semacam khalafisme ini agaknya tidak didukung oleh situasi sosial politik nasional dan internasional yang kurang menguntungkan.

Oleh sebab itu, penguatan terhadap paham khalafisme pertama-tama perlu dilakukan dengan kembali menempatkanya sebagai paham yang mengakui keniscayaan dialog antara teks suci dengan konteks ruang dan waktu, penghargaan terhadap rasionalitas, dan memandang perbedaan sebagai rahmat. Di sini, peran moderasi pemuka agama amat penting untuk semakin mendewasakan umat beragama agar keberagamannya semakin toleran dan bermartabat. Lagi pula, khalafisme juga tidak mesti ditempatkan sebagai lawan salafisme yang saling berkonflik dan sarat ketegangan. Keduanya dapat melakukan dialog intelektual sebagaimana para ulama klasik memberikan teladan. Bukankah dua-duanya sama-sama menjadikan Alquran dan Hadis sebagai referensi utamanya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline