Lihat ke Halaman Asli

Husni Fahruddin

Advokat, politisi dan jurnalis

Dukung Penyelenggara Pemilu, Kalau Tidak?

Diperbarui: 16 April 2019   08:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Delegitimasi terhadap penyelenggara pemilu nampaknya sudah mulai dimainkan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan terhadap kekuasaan.

Tampak beberapa kejadian yang mengarah untuk menyudutkan dan sekaligus menyalahkan penyelenggara pemilu.

Persoalan DPT yang masih di sangsikan, ribuan kartu E-KTP yang tercecer, koruptor yang masih bisa mencalegkan dirinya, "orang gila" diberi hak memilih, teknis debat Pilpres yang selalu diperdebatkan.

Tujuh kontainer surat suara yang diselundupkan, ribuan surat suara yang sudah tercoblos, video pencoblosan surat suara yang mengarah ke salah satu capres dan caleg serta kerawanan akan tingginya angka golput.

Kotak suara yang hanya terbuat dari kardus, kekurangan surat suara di pelbagai daerah, distribusi instrumen pemilu yang amburadul karena alam dan berbagai macam kendala lainnya.

Mekanisme yang tidak komprehensif pada pemungutan suara di luar negeri menyebabkan terjadinya antrean  panjang, waktu yang terbatas, gedung TPS yang sudah habis pakai, kekisruhan antara panitia, saksi dan pemilih serta oknum penyelenggara pemilu yang terkesan terpecah karena saling memberikan dukungan ke salah satu capres.

Waktu pencoblosan yang sempit sehingga membuat pemilih tidak sempat memberikan pilihannya, adanya isu kelompok tertentu yang akan mengarahkan pemilih saat hari pencoblosan sampai akhirnya aparat keamanan menyatakan jangan takut ke TPS.

Sederet kejadian yang sebenarnya normal saja karena mengelola pesta yang begitu besar, namun bisa menjadi sangat bermasalah ketika "dikemas" dengan sangat luar biasa. Penyelenggara pemilu dalam titik krusial.

Mengamati keberpihakan mantan-mantan petinggi TNI/POLRI, yang terbagi di kedua kubu capres, harus disikapi oleh petinggi TNI/POLRI aktif dengan sikap netral dan tegas dalam menegakkan aturan.

Alat negara bila bisa digunakan untuk kepentingan kekuasaan maka tunggulah saat-saat kehancuran negara tersebut. Alat negara bukan hanya bisa digunakan oleh penguasa, namun oposisi juga bisa menggunakan karena latar belakang sang oposan.

Ketika alat negara berpadu gerak untuk satu kekuasaan maka muncullah rezim yang diktator, namun sebaliknya bila alat negara terpecah menjadi pro penguasa dan pro oposisi maka rakyat harus bersiap mematangkan diri, sebab perebutan kekuasaan akan segera dimulai dan hanya rakyat yang bisa mengalahkan alat negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline