Dua hal merembesi pikiran, kala memekuri proses hukum dugaan penistaan agama oleh Ahok, sambil nyeruput wedang kopi hot malam ini. Pertama, kesediaan selaku masyarakat hukum menerima penetapan status tersangka baginya, yang kian meresap ke relung sanubari terdalam. Itu pasti dan prinsip, toh dia sendiri menyampaikan himbauan senada, sekaligus berterima kasih pada kepolisian. Sikap yang kece badai!
Sepatutnya pula koalisi parpol pengusung tetap berkomitmen mendukungnya sebagai paslon. Mengingat, Gubernur Jakarta nonaktif itu cenderung terlihat ”single fighter” menghadapi bermacam serbuan politis silih berganti, tak jarang keroyokan sejak menggantikan Jokowi sampai dinamika terakhir.
Entah syahdan memang gara-gara karakter (bawaan) pribadinya, gaya bicaranya dan sebagainya. Dan ini bukan maksud memosisikannya sebagai korban. Tidak. Sebab, rasanya tak perlu berpikir siapa yang mengorbankan ataupun dikorbankan.
Kedua, ada bagian ketetapan status tersangka petahana Gubernur DKI Jakarta itu yang berkecipak di kepala lantaran masih terselip potensi beda pendapat. Berkenaan juncto pasal UU ITE yang dijeratkan padanya memunculkan pertanyaan. Hari-hari ini saja telah mencuat pandangan sebagian kalangan yang menilai jeratan pasal itu aneh dan tidak logis (Kompas).
Saya sendiri bertanya-tanya kala menyimak tampilan list pasal untuk Ahok itu di acara Kompas TV malam tempo hari. Dari sini, terasa dua alur penetapan dirinya sebagai tersangka, dengan objek musabab tampaknya sama berupa unggahan video berkonten terkait. Yaitu, terkesan bermula dari video di situs atau medsos Pemprov DKI Jakarta.
Cuplikannya mulai sering disertakan stasiun televisi swasta di sela-sela tayangan yang mengulas kasus ini. Rekaman yang mulanya sekadar dokumentasi kegiatan untuk memenuhi hak publik mendapat informasi, layaknya rilis situs atau medsos institusi pemerintah maupun Pemda umumnya. Dan sepertinya kemudian unggahannya dijadikan bahan pihak-pihak yang memperkarakannya.
Yang satu lagi, unggahan tautan video sejenis berdurasi lebih singkat dan berbubuh kalimat lantas viral di medsos. Kontennya mengusik ”rasa” sebagian atau sebutlah banyak pihak yang merasainya lewat dunia maya. Beberapa waktu kemudian tergelar aksi demonstrasi akbar yang damai.
Nah, kepolisian hendaknya lebih peka meruntut kembali untuk mengontruksi perkara ini. Apakah plot awal atau kedua, yang koheren dan inheren semula memantik psikologi massa, lantas membikin banyak orang termakan sebagai titik tolak? Ketika tak sedikit pihak yang mempersoalkan unggahan video kedua, lalu serasa di-sliyut-kan pihak lain seakan unggahan video pertamalah biang muasalnya.
Rasa Keadilan Masyarakat dan Turn Back Crime
Ahok berstatus tersangka kini. Bahkan, dirinya tak ubahnya terdakwa saat timnya berencana mendatangkan Ahli Tafsir dari Mesir, disebutkan untuk ”meringankan” dirinya di berita online (Kompas). Sekali lagi, tentunya kita menerima seraya menjaga tensi sosial tetap woles, serta pantang terpancing apapun pancingan sepanjang memantau proses hukumnya.
Proses hukum berikut status tersangka yang kadung dialami Ahok sekarang, demi memenuhi ”rasa keadilan masyarakat” sebagaimana telah dimafhumi bersama. Sejumlah tokoh dan ahli hukum yang menjadi rujukan publik guna pembelajaran mengurai sengkarut masalah hukum dengan bijak selama ini, juga meneriakkan arahan secara hukum serupa.
Walau konsekuensinya hati jadi cenut-cenut mencari jawab, demi rasa keadilan masyarakat? Sebagai warga kebanyakan, saya juga tidak pada kapasitas sungguh paham maknanya, tetapi sekadar mengunyah-resapi sendiri sambil berupaya memandang tidak sebelah mata. Bagaimana dengan rasa keadilan para sedulur warga Jakarta lainnya, yang memilih diam memendam pemikiran maupun kehendak berbeda, di tengah kecamuk arus mainstream belakangan?